Mohon tunggu...
Alfathan Rahman
Alfathan Rahman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger, kompasiana kontributor

Full time Blogger Ismimalfathan www.ismimalfathan.wordpress.com, dan www.alfa27.com "Membangun bangsa dengan tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Balap Pilihan

Menyuarakan Kerisauan Para Penggemar F1 di Indonesia

2 Agustus 2020   20:54 Diperbarui: 2 Agustus 2020   20:59 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya seorang penggemar F1, TV kabel adalah segalanya. Ya, itu mungkin hanyalah sedikit keluh kesah dari para penggemar F1 yang tidak bisa menyaksikan olahraga kesayangannya secara gratis. Terserah jika kalian menganggap hal tersebut berlebihan. Akan tetapi ini hanyalah upaya kecil untuk menyuarakan kerisauan yang telah saya alami selama 4 tahun terakhir.

Balapan F1, memanglah tidak sepopuler MotoGP ataupun sepakbola. Setidaknya hal itu dibuktikan dengan tidak adanya media televisi lokal yang mau berspekulasi untuk menyiarkannya.

Kontras dengan apa yang terjadi kurang lebih sepuluh tahun lalu, saya masih bisa menjadi saksi ketatnya persaingan juara dunia antara Vettel, Alonso, dan Webber. Konfrontasi Vitali Petrov di balapan terakhir sangat efektif menahan lajur Alonso sehingga tidak bisa memperbaiki posisinya. Alonso sangat marah, tetapi Vettel begitu ceria, kebertolak belakangan yang dramatis menghiasi terangnya lampu yang menyinari setiap sudut Sirkuit Yas Marina.

2011, 2012, 2013, dua media televisi ternama secara bergantian sempat memfasilitasi keinginan pecinta F1 di tanah air. Akan tetapi tahun 2014 pada akhirnya F1 menghilang dari pertelevisian Indonesia.

Entah mengapa, yang jelas kebutuhan saya akan hiburan dari ajang balap ini sirna dalam seketika. Sedih, itu relatif, tergantung dilihat dari perspektif mana saya memaknainya. Jika dilihat berdasarkan kacamata para pencari hiburan yang pragmatis, tentu tidak. MotoGP pun sudah cukup untuk membuat akhir pekan saya berwarna.

Tetapi apabila dilihat berdasarkan pendalaman akan esensi dari balapan itu sendiri, tentu saya sedih. Bagi saya menonton balapan bukan hanya sekedar hiburan pragmatis. Dimana menyaksikan jagoan saya menang, kemudian pergi tidur dengan wajah tersenyum. Bro, itu saja tidak cukup!!!.

Saya suka sajian persaingan yang terimplikasi nyata diatas aspal sirkuit. Saya suka mendengar deru mesin yang berisik. Bahkan saya suka cara setiap pembalap dalam menikung. MotoGP dan F1 memiliki perbedaan yang sangat mencolok untuk masalah ini. Sehingga referensi yang saya dapatkan setiap pekannya akan sangat beragam, meski itu hanya di layar kaca.

Kehilangan satu balapan, maka hilang pula referensi serta pengalaman tersebut. Hingga saya menyadari bahwasannya stigma mayoritas masyarakat akan balap jet darat sangat berbeda. 

Semakin lara, ketika menyadari bahwasannya saya berada dalam kelompok yang minoritas dalam bersudut pandang. Terbukti ketika saya dan para pecinta balapan F1 yang lain kini harus mengalah dan menerima kenyataan bahwa tidak ada satu pun televisi Indonesia yang bersedia menyiarkan ajang balap ini..

Pada dasarnya ada 3 persoalan mendasar di balik tidak disiarkannya ajang balap F1 di televisi Indonesia, antara lain....

Biaya hak siar yang tinggi

Sebagai ajang balap mobil paling bergengsi di dunia, membuat FIA jumawa untuk mematok harga hak siar yang sangat tinggi. Diketahui salah satu televisi dari Italia Sky Sports saja rela menggelontorkan uang sebanyak 30 juta pound demi hak siar ajang balap ini. Tentunya dengan harga yang sangat tinggi, menjadi pertimbangan yang cukup memberatkan bagi televisi Indonesia. 

Rating yang rendah

Dengan biaya hak siar yang tinggi, tidak sebanding dengan rating yang tidak menjanjikan. Berdasarkan catatan sepanjang tahun 2019 lalu, penonton televisi ajang balap F1 dari seluruh dunia selama satu musim hanya mencapai 471 juta pasang mata saja. 

Sangat jauh jika dibandingkan pada tahun 2008 lalu yang mencapai 600 juta pasang mata. Selain biaya hak siar yang tinggi, penurunan  jumlah penonton yang signifikan membuat pelaku industri televisi Indonesia enggan menyiarkannya. 

Dominasi satu tim

Saya memiliki pendapat bahwasannya dominasi Mercedes sudah sangat keterlaluan. Di satu sisi itu adalah prestasi yang tak terbantahkan, akan tetapi di sisi lain hal tersebut sedikit menggeser makna dari sebuah kompetisi. 

Saya pribadi cukup jengah dengan dominasi tim pabrikan asal Jerman ini karena dominasinya seakan abadi. Pengembangan mereka seperti satu tahun lebih unggul dari tim maupun pabrikan lain. Entah mungkin karena teknologi serta pendanaan yang lebih unggul atau faktor lainnya. 

Selamat untuk fans tim Mercedes karena kalian bisa terus tidur nyenyak di hampir setiap akhir pekan. Tapi saya hanya ingin mengungkapkan bahwa hal tersebut adalah salah satu faktor yang membuat balapan F1 sedikit tersisihkan.

Dominasi satu tim dan pembalap membuat suguhan-suguhan menarik dalam persaingan pun menjadi minim.  Itulah yang membuat F1 kehilangan tempat di hati masyarakat Indonesia dan juga sebagian masyarakat dunia. 

Coba komparasikan dengan MotoGP. Balapan ini memiliki stigma yang positif di negara kita. Ditambah lagi bumbu-bumbu persaingan yang jauh lebih menarik untuk memancing spekulasi dan perdebatan.

Dalam konteks ini MotoGP berhasil berbicara dalam segi entertain, aspek lain yang bisa dikatakan tabu akan tetapi sangat penting dari hanya sekedar deru mesin belaka. 

Sementara di ajang balap F1, dramatisasi yang terjadi tidaklah ekstrim, bahkan cenderung datar dan membosankan. Stigma inilah yang terlanjur melekat sehingga suguhan-suguhan yang menarik pun tidaklah cukup untuk membuat banyak masyarakat Indonesia rela meluangkan waktunya selama hampir dua jam menyaksikan ajang balap ini.

Di sisi lain, Michael Schumacher bersama Ferrari pernah melakukan hal yang sama di masa lalu, atau dominasi McLaren di awal 90-an dengan prestasi yang mentereng bersama Senna dan Prost. Akan tetapi substansi persaingan pada saat itu masih sangat lekat. Tidak seperti saat ini yang bisa dikatakan sedikit kendor.

===========

Itulah sedikit keluh kesah yang saya alami saat ini. Beruntung sekali adanya TV kabel serta koneksi Wi-fi yang membuat fasilitas dalam menyaksikan balapan F1 masih bisa terpenuhi. 

Bagi kalian yang tidak memiliki fasilitas tersebut, anggap saja artikel ini mewakili keresehan kalian. Satu artikel sama sekali tidak sebanding dengan kesulitan dan perjuangan kalian untuk menyaksikan ajang balap jet darat di akhir pekan. Akan tetapi saya hanya berharap dengan adanya artikel ini bisa menjadi awal positif untuk mengembalikan hal-hal yang kini telah hilang. 

Semoga saja F1 bisa kembali disaksikan dengan leluasa oleh semua kalangan di Indonesia.. Semoga....

Referensi:
alfa27.com
statista.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Balap Selengkapnya
Lihat Balap Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun