Mohon tunggu...
Ismi Faizah
Ismi Faizah Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah proses menyembuhkan hati sedang membaca adalah proses membuka mata pikiran dan rasa

Read a lot write a lot

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Quite Quitting dan Quite Firing

25 September 2022   11:22 Diperbarui: 25 September 2022   11:25 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal dunia kerja, memang banyak serba-serbi yang menarik dan tak habis untuk dibahas. Salah satunya fenomena baru-baru ini yang banyak diperbincangkan tentang quite quitting, dimana kecenderungan karyawan yang tidak mau menyelesaikan pekerjaan yang bukan job desk mereka, sebab mereka merasa antara beban pekerjaan dengan besaran gaji yang diterima tidaklah sepadan.

Perlu disadari, bahwa antara perusahaan atau penyedia lapangan pekerjaan dan karyawan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bagai satu tubuh yang saling berkesinambungan, saling bekerja sama untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya, demi mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan demi kepentingan bersama.

Menurut pengalaman pribadi penulis, memang ada kalanya seorang atasan terkesan mengandalkan satu pihak. Sebagai contoh, karyawan baru yang serba bisa akan diberikan tugas-tugas yang tidak seharusnya dia kerjakan. Sikap atasan seperti ini, tentu menimbulkan tekanan tersendiri, apalagi bagi karyawan yang masih perlu beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru saja mereka tempati.


Namun, berbeda ketika karyawan tersebut meskipun anak baru, tapi semangat belajarnya tinggi, menyukai tantangan baru, suka mempelajari hal-hal yang belum dia kuasai, pemberian tugas diluar job desk-nya, tentu adalah tawaran yang menggiurkan. 

Biasanya, karyawan semacam ini mereka memikirkan jenjang karir kedepan di tempat mereka bekerja sehingga totalitas selalu mereka tunjukan. Ada pula yang sekedar mencari tahu, teliti mengingatnya sebagai bekal dikemudian hari jika mereka bisa mendirikan usaha sendiri. 

Lalu tingkatan yang lebih tinggi, adalah mereka yang bekerja diniatkan dengan ikhlas, menganggap bekerja sebagai bagian dari ibadah, sehingga timbullah perasaan mencintai pekerjaan dengan menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan secara maksimal. 

Disini, peran apresiasi dari atasan, perusahaan haruslah seimbang. Jeli melihat mana karyawan yang memiliki potensi besar untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan. 

Bukan dinilai menurut perasaan suka atau tidaknya atasan pada sang karyawan. Karena, banyak sekali di lingkungan kerja situasi toxic semacam ini. 

Menilai karyawan hanya sebatas ketertarikan saja, tanpa mempertimbangkan layak tidaknya kemampuan mereka. Sebagai contoh adanya kebijakan menaikkan status karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. 

Atasan lebih memilih karyawan dengan kemampuan standar dibanding mereka yang memiliki kemampuan lebih baik, hanya karena alasan pribadi. Saya rasa salah satu alasan mengapa karyawan melakukan quite quitting juga karena ketiadaan sikap adil dari atasan.


Maka dari itu, perlunya terjalin  komunikasi antara perusahaan dan karyawan agar sama-sama memahami. Apa yang karyawan inginkan dan perusahaan ingin capai demi kemajuan bersama. 

Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman adalah tanggung jawab bersama. Mengedukasi karyawan, agar mencintai tempat mereka bekerja sebagai rumah kedua yang perlu dibangun kesuksesannya dengan saling bekerja sama.


Tentu saja sebagai karyawan yang mengabdikan diri dengan baik, tidak mungkin terima jika diperlakukan semena-mena. Sebaliknya, sebagai karyawan, kita juga harus menyadari bahwa sebelum memutuskan tanda tangan kontrak, kita juga harus memperhatikan poin-poin yang tercantum. 

Dalam surat hitam diatas putih tersebut, saya yakin beberapa poin akan menyebutkan, yang intinya bahwa sebagai karyawan harus siap dipindah dibagian manapun yang membutuhkan, melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, dan sebagai gantinya perusahaan akan memberikan imbalan yang sepadan.


Agar budaya quite quitting dan quite firing tidak menjamur ditempat kerja yang bisa berdampak buruk, merugikan satu sama lain. Karyawan bisa saja kehilangan pekerjaan dan kesempatan mengembangkan diri, perusahaan mengeluarkan uang dengan percuma karena yang mereka pekerjakan ternyata tak sesuai yang diharapkan. 

Keduanya haruslah dapat saling memahami, mengerti dan saling mendengarkan. Komunikasi antara atasan dan bawahan harus terjalin, dijembatani agar tidak ada sekat yang menghambat hubungan team work yang optimal demi kelancaran usaha serta kesejahteraan karyawan. 

Bagaimanapun juga, penting memperhatikan kepentingan-kepentingan karyawan agar mereka nyaman dalam bekerja dan tidak menimbulkan perasaan diforsir tenaganya saja. Begitupun sebaliknya, jika perusahaan telah semaksimal mungkin memberikan hak-hak karyawan, maka jangan bekerja seenaknya tanpa memberikan kontribusi berarti bagi perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun