"Ibu berkata bahwa orang-orang jaman dahulu percaya jika seorang istri bermimpi pakaiannya robek, maka sang suami telah bermain serong. Bagiku yang menganggap mimpi hanyalah bunga tidur, tak pernah menanggapi serius ucapan ibu. Mitos, itulah yang kupercaya.Â
Tahun berlalu, hari berganti. Ibu sudah tak lagi disisi dan kenyataan pahit harus aku telan mentah-mentah. Hingga sekarang perih tetap terasa mengiris bagian terdalam hatiku. Peristiwa itu akan terus berputar bak kaset yang tak akan pernah hancur."
Tujuh tahun yang lalu...
"Mas...!" Meraih telapak tangan kekar milik sang suami yang tak pernah absen memberinya nafkah penuh sayang, lalu mengecup punggung tangan yang sedikit menghitam itu karena sering kali bekerja di lapangan, sebelum akhirnya mengelus lembut rahang sang suami.Â
'Ujian apa ini Tuhan' batinnya menjerit pilu. Air mata telah mengering sebab habis sudah ia kuras semalaman, juga ketika fajar menyapa hingga senja kehilangan jingganya beberapa waktu belakangan. Tepat saat mimpi buruk menjelma nyata.Â
"Mas...tidak bisakah menatapku? Sekali saja!" Perintahnya lembut. Ah wanita ini, begitu halus penuh kasih. Tulus tanpa menuntut balas. Bagi wanita dengan senyum berhias gigi gingsul itu suami adalah pintunya menuju surga. Jika begini, surga mana yang akan ia rengkuh?Â
Pria yang tubuhnya menguarkan aroma citrus menyegarkan itu terdiam menunduk. Sesekali memalingkan wajah, nafasnya sesak bukan karena sakit namun menahan beban yang ia pikul. Tak sanggup menatap luka yang menghiasi bola mata cantik milik sang istri.Â
Bidadari dunia yang ia pinang tujuh tahun yang lalu. Disaat keputusan penuh kesadaran dia ambil dengan mantap. Namun waktu begitu kejam merubah hatinya ataukah ia sendiri yang tak kuasa menahan diri lebur dalam nikmat duniawi.Â
"Mas ingat bagaimana pertemuan pertama kita? Hari itu tetap teringat dengan jelas. Setiap kali aku merasa mas berubah, tak lagi menaruh perhatian padaku, sejujurnya aku berniat menyudahi saja hubungan kita tapi kemudian aku mengingat semua hal yang pernah kita lalui. Susah senang tangis canda bahagia duka silih berganti. Mas tetap disisiku," wanita itu berdiri membelakangi sang suami yang duduk gelisah di sofa hijau tua.Â
"Terlepas karena Mas memang masih mencintaiku atau sekedar rasa tanggungjawab saja, yang aku sadari adalah perasaanku tak pernah berubah sejak mas berniat membawaku ke pelaminan hingga sekarang". Mutiara bening itu lolos sempurna jatuh membasahi foto dalam genggaman tangan sang wanita.Â
Sang suami menunduk lebih dalam. Tangannya mengepal hingga buku-buku jari nya terlihat. Dia tidak mungkin lupa. Bibirnya mengatup tanpa mengeluarkan satu kata pun. Sesal tak bisa dikembalikan.