Ibu tak pernah ingin menikah lagi walau sebenarnya ada saja lelaki yang datang ingin meminang beliau. Tetapi Ibu menolak setiap kali melihat kearahku yang memasang tatapan tak suka ketika ada orang yang mendekati Ibu.Â
"Kamu adalah nafas Ibu. Rena tak suka jika punya Bapak baru?" Ibu mengelus sayang pucuk kepalaku. Aku menggeleng keras. Takut sekali jika memiliki Bapak tiri, baik aku maupun Ibu akan tersakiti.Â
"Ibu janji tidak akan ada orang lain dalam rumah kita. Cukup kamu dan ibu. Tidak ada niatan sedikitpun untuk menikah lagi. Ibu punya Rena, dan itu lebih dari cukup." Kami berpelukan erat. Aku terisak dalam dekapan hangatnya. Ya Tuhan bagaimana aku bisa melupakan saat dimana aku merasa memiliki seluruh dunia hanya karena kasih sayang Ibuku.Â
Bahuku bergetar. Tangisku tak lagi dapat kubendung. Tak peduli tatapan aneh orang-orang yang berlalu lalang. Dua kali melewati lampu merah, kali ketiga terasa sangat lama. Aku ingin segera bertemu Ibu. Mencium wajah wanita yang telah rela menggadaikan segala kebahagiaannya hanya untuk diriku. Ibu aku rindu. Â
****
Kuparkir asal kendaraan beroda dua. Berlari sekencang mungkin. Sampai di meja resepsionis rumah sakit aku bertanya dimana Ibuku.Â
Ruang melati nomer II. Ada beberapa orang akan tetapi tak kunjung ke temui wajah Ibuku. Sungguh aku panik hingga tanpa sadar sandal jepitku beda warna. Sedikit malu tapi rasa khawatirku tentang keadaan Ibu lebih menguasai hati dan pikiran. Apa aku salah dengar tadi bukan ruangan ini?
Aku memutuskan keluar ruangan. Menengok kanan kiri diujung kudapati bibi sedang mondar-mandir. Aku berlari menghampiri.Â
"Syukurlah kamu datang!" Bibi memelukku menangis. Ibu harus dioperasi. Benturan dikepalanya menyebabkan pendarahan. Kakiku mendadak seperti tak bertulang. Ujian apalagi ini. Ataukah karena dosa-dosaku. Ya Tuhan, aku tak ingin kehilangan Ibu.Â
Kami menunggu harap-harap cemas. Satu jam berlalu kondisi Ibu belum juga kami ketahui. Sejak tadi kegelisahanku belum mereda. Setelah membelikan bibi air mineral, aku memilih pamit menuju mushola.Â
Kuambil air wudhu. Baru seujung kuku air menyentuh bagian tubuhku air mataku menganak. Senyum Ibu merekah saat bermain bersamaku. Aku yang tertawa bahagia dalam gendongannya. Membasuh wajah kini aku mengingat dengan jujur betapa sepi hari-hariku di rumah tanpa Ibu. Yang setiap saat selalu menyiapkan segala keperluanku sebelum berangkat bekerja. Ya Tuhan, tolong jangan kau ambil Ibuku.Â
Tidak akan sanggup aku tanpanya. Tidak ada orang tua yang sempurna pun begitu dengan seorang anak. Janjiku dalam hati aku tak akan pernah kesal lagi dengan berbagai macam omelan Ibu. Aku tahu niat beliau tentu demi kebaikanku.Â