Kepulauan Riau (Kepri) yang terkenal akan kekayaan lautnya kini menghadapi masalah yang serius. Sebagai provinsi yang berada di garis depan pengelolaan sumber daya laut Indonesia, Kepri seharusnya menjadi contoh yang baik untuk pengelolaan laut yang berdasar pada kedaulatan negara. Namun, kenyataannya adalah para nelayan lokal di wilayah ini, yang bergantung pada hasil laut untuk kehidupan, justru tidak dapat bersaing dengan kapal asing yang melakukan kegiatan ilegal di perairan Indonesia. Kapal dari luar negeri dengan gampang memasuki dan memanfaatkan sumber daya laut yang melimpah, sementara nelayan lokal tertekan oleh berbagai masalah, mulai dari akses yang terbatas terhadap sumber daya hingga kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif. Dalam keadaan ini, siapa sebenarnya yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan?
Realitas yang Terjadi di Laut Kepulauan Riau
Kepulauan Riau terletak di lokasi yang penting di Laut Cina Selatan, suatu area yang melimpah dengan ikan dan sumber daya alam lainnya, termasuk minyak dan gas. Akan tetapi, keindahan dan kekayaan tersebut tidak selalu membawa manfaat bagi para nelayan setempat. Satgas Tim Gabungan Patrol Laut dan Pantai di Perairan Nasional melaporkan, sejak Oktober 2019 hingga awal tahun 2022, setidaknya 74 kapal asing telah ditangkap karena melakukan kegiatan ilegal di perairan Indonesia. Dari jumlah itu, banyak di antaranya berasal dari Vietnam, Thailand, dan China. Kondisi ini menunjukkan bahwa kapal asing bergerak bebas dan terorganisir dalam melakukan kegiatan ilegal di laut Indonesia, sementara para nelayan lokal mengalami kesulitan untuk bersaing. Selain persoalan penangkapan ikan tanpa izin, nelayan lokal juga menghadapi masalah serius akibat menurunnya stok ikan akibat eksploitasi yang berlebihan oleh kapal asing. Banyak nelayan tradisional melaporkan kesulitan untuk menemukan ikan di perairan yang dulunya melimpah dengan hasil tangkapan. Hilangnya akses ini berimbas pada pendapatan mereka, yang semakin tertekan karena kurangnya mekanisme yang efektif untuk mengelola distribusi sumber daya alam laut tersebut. Penurunan jumlah ikan semakin memperparah daya saing nelayan lokal di pasar, di mana kapal asing sering kali mendapatkan hasil yang jauh lebih banyak.
Aspek Hukum yang Terabaikan: Pelanggaran terhadap UNCLOS
Persoalan yang dihadapi oleh nelayan lokal Kepulauan Riau tidak hanya berhenti pada dampak ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek hukum internasional. Sebagai negara yang memiliki hak atas perairan sesuai dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), Indonesia berhak mengatur dan menjaga sumber daya lautnya, termasuk hak untuk mengelola penangkapan ikan dan kegiatan lainnya di perairan nasional.
Akan tetapi, kapal asing yang beroperasi di perairan Kepulauan Riau sering kali melanggar hak-hak tersebut, yang sebenarnya telah dilindungi oleh Indonesia melalui UNCLOS. Salah satu pasal yang jelas dilanggar adalah Pasal 56 UNCLOS yang mengatur hak negara pantai untuk mengeksploitasi sumber daya di zona ekonomi eksklusif (ZEE). Indonesia, sebagai negara pantai, memiliki hak untuk mengelola dan mengendalikan sumber daya alam yang ada di ZEE-nya, termasuk hak untuk menentukan siapa yang diperbolehkan menangkap ikan. Jika kapal asing menangkap ikan tanpa izin atau melanggar peraturan yang ditetapkan oleh Indonesia, mereka telah melanggar ketentuan Pasal 56 UNCLOS yang memberikan wewenang penuh kepada Indonesia untuk melindungi hak-hak ekonominya.
Di samping itu, Pasal 73 UNCLOS mewajibkan negara pantai untuk melindungi dan menjaga sumber daya alam di ZEE mereka dari eksploitasi yang merugikan. Namun, keberadaan kapal asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal jelas bertentangan dengan kewajiban tersebut. Praktik semacam ini tidak hanya merugikan ekonomi Indonesia, tetapi juga dapat merusak ekosistem laut yang sangat berharga.
Mengapa Nelayan Lokal Tertinggal?
Adanya ketimpangan antara nelayan lokal dan kapal asing tidak hanya disebabkan oleh kegiatan ilegal saja, tetapi juga oleh ketidakmampuan pemerintah untuk memberantas masalah ini secara tuntas. Kesenjangan antara nelayan lokal dan kapal asing bukan hanya diakibatkan oleh aktivitas ilegal, tetapi juga oleh ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh. Meskipun Indonesia telah berusaha meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, tantangan besar tetap ada. Walaupun Indonesia telah melakukan upaya untuk memperbaiki pengawasan dan penegakan hukum, masih ada tantangan besar yang harus dihadapi. Infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya dukungan terhadap nelayan lokal, serta lemahnya koordinasi antara instansi terkait menyebabkan penegakan hukum menjadi kurang efektif. Sarana dan prasarana yang tidak mencukupi, minimnya dukungan bagi nelayan lokal, serta buruknya kerjasama antarlembaga membuat penegakan hukum menjadi kurang efisien.
Nelayan lokal sering kali terbatas dalam hal akses ke teknologi modern yang dapat meningkatkan produktivitas mereka, seperti penggunaan alat tangkap yang lebih efisien atau sistem pemetaan perikanan yang lebih baik. Nelayan lokal sering kali memiliki keterbatasan dalam mengakses teknologi canggih yang dapat meningkatkan hasil tangkapan mereka, seperti alat tangkap yang lebih efektif atau sistem peta perikanan yang lebih baik. Di sisi lain, kapal asing sering dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju, serta memiliki modal yang lebih besar untuk melanjutkan operasi mereka meski seringkali tanpa izin atau dengan izin yang tidak sah. Sebaliknya, kapal asing umumnya dilengkapi dengan teknologi terbaru dan memiliki sumber daya finansial yang lebih besar untuk terus beroperasi, meskipun sering kali tanpa izin atau dengan izin yang tidak valid. Hal ini jelas memperburuk ketimpangan antara nelayan lokal dan kapal asing. Situasi ini jelas memperparah kesenjangan antara nelayan lokal dan kapal asing.
Solusi dan Harapan yang dapat diberikanÂ