Perbedaan sejatinya bukan merupakan suatu masalah yang besar dalam suatu kehidupan. Bagaimana kita menerima semua perbedaan itu dengan tidak ada pertikaian atau beradu argumen didalamnya. Karena sesungguhnya di hadapan Allah  kita sama, yang membedakan hanyalah apa yang sudah kita persiapkan selama masih berada di dunia. Harkat, derajat, tahta, kekayaan, bukan itu semua yang kelak akan dibawa menghadap sang Ilahi, sebanyak apapun harta yang dimiliki, setinggi apapun jabatan yang dimiliki, dimata Allah kita tetaplah sama. Namun, ternyata tidak semua memiliki pandangan yang sama mengenai perihal perbedaan. Bukannya berbeda itu indah?
Menceritakan tentang perbedaan, ini terjadi dalam pandangan keluarga besarku. Pandangan adalah salah satu perantara yang senantiasa digunakan dalam menilai sesuatu, seseorang ataupun ruang lingkupan lingkungannya. Orang tua ku banyak disegani setiap orang yang berada di dalam ruang lingkup dekat tempat tinggalku. Tidak, kami bukanlah orang yang berlimpah akan kekayaan ataupun tingginya suatu jabatan. Melainkan mungkin karena berdasarkan degree pendidikan, ya karena itu yang membuat mereka membandingkan satu sama lain dengan kami. Menceritakan bagaimana kami makan, ya sama seperti layaknya orang lain makan menggunakan piring, sendok, dan nasi yang kita makan. Namun, ternyata pandangan orang lain terhadap kita begitu jauh bak bumi dan langit. Bukankah bumi dan langit mempunyai tujuan yang sama? Sama-sama mempunyai tujuan melindungi segala isi yang berada di dalamnya? Meskipun langit begitu tinggi di atas bumi dan bumi begitu jauh di bawah langit tapi tujuannya sama yaitu untuk melindungi isi yang dipijak oleh makhluk hidup dan berada dalam naungan siang ataupun malamnya yang begitu nampak dari langit. Lantas mengapa manusia masih mempermasalahkan perbedaan?
Hari itu adalah hari dimana titik perjuangan pendidikan 4 tahun telah selesai dengan tandanya toga yang dikenakan dengan tampil bahagia depan orang tua, karena ini adalah hasil perjuangan mereka yang menyekolahkan anak semata wayangnya menuju gerbang menjadi seorang sarjana. Tangisan mungkin tidak terhitung berapa tetesan yang telah menghujam kedua pipi dari diriku maupun orang tuaku. Namun, perjuangan sebenarnya adalah menghadapi realita kehidupan setelah gelar sarjana didapatkan. Apa yang ingin di kontribusikan? Apa yang ingin dibagikan? Dan bagaimana bisa bermanfaat untuk orang lain?. Tak sengaja percakapan ku dengan Ayah mengenai langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
"Yah, Â Rein ko bingung ya lanjut S2 atau harus cari kerja dulu." Tanyaku sembari membuka obrolan dengan Ayah. Oh sebut saja namaku Rein, karena Rein adalah warisan terpenting dari kedua orang yang ku cintai.
"Rein, kamu cari kerja saja dulu, cari pengalaman dulu untuk menambah pengetahuan dilapangan itu seperti apa dan mengaplikasikan ilmu yang kamu dapat dari kuliah." Jawab Ayahku dengan nada menenangkan.
Sejenak aku terdiam, obrolan itu terpotong dengan beberapa pemikiran yang terlintas dalam benakku. Hubungan sosialku amat sangat buruk, aku seorang Introvert, seseorang yang tertutup akan hal sosial, sedangkan dalam dunia pekerjaan tidaklah mungkin aku bekerja sendiri dan tidak bertemu dengan banyak orang. Entah apa yang salah dengan diri ini ataupun dengan sikap ini saat dalam keramaian terasa begitu sesak dan kepala pening tak jelas. Namun tiba-tiba ayah membangunkan kembali dari lamunanku.
"Rein kalau memang kamu ingin melanjutkan S2 fokuslah persiapkan dirimu, Ayah tidak akan memaksakan anak Ayah untuk jalan yang akan di ambilnya." Nasihat bijak yang keluar dari mulut ayah yang kembali menenangkanku.
"Tapi yah biayanya kan lebih berat, kayanya memang Rein sambil nyari kerjaan yang sesuai dengan qualifikasi yang Rein punya." Jawabku singkat pada Ayah.
Esoknya tepat 2 minggu ku berada di rumah, menjalani rangkaian tes berangkat kesana kemari, namun mungkin belum waktunya dan belum rejekinya. Ternyata berdiam diri di rumah tidak seperti pulang selagi libur waktu kuliah. Rasanya telinga begitu panas yang selalu di hujam dengan puluhan pertanyaan yang sama. "Mengapa belum kerja?", "Kapan Nikah?". Pertanyaan berulang seperti itu membuatku semakin tidak betah dirumah. Sehingga hanya menunggu kabar gembira saat ada panggilan tes yang menjadi alasan untuk tidak berdiam diri di rumah.
"Rein, kamu disini?" Sapa tetangga yang seumuran dengan ku namun dia kini sudah menggendong satu anak karena tahun lalu dia sudah menikah.
"Eh, Sal iya ni lagi dirumah." Jawabku singkat pada Salma ya Salma tetanggaku.
"Udah bereskan kuliahnya Rein? Belum kerja?" Dan lagi lontaran pertanyaan yang sama entah ke puluh berapa kalinya.
"Haha iya belum rejeki sama waktunya, nanti juga indah pada waktunya." Tegasku dengan nada yang aga sedikit kesal.
"Iya Rein udah nikah aja nanti kamu ketuaan lagi, sekolah tinggi itu ngga ngejaminkan kamu cepet dapet kerjaan. Haha". Dengan tertawa dia berkata seperti itu.
"Ya gimana Allah aja yang sudah menakdirkan takdir ku akan seperti apa, karena urusan takdir bukan ditanganku apalagi tangan orang lain." Jawabku sambil melemparkan senyuman yang sebenarnya aku malas untuk tersenyum.
Setelah percakapan itu entah kenapa kedua mataku berontak dan tiba-tiba mengeluarkan air mata dengan sendirinya yang sontak membuat Bunda ku kaget.
"Rein kenapa?" Tanya Bundaku.
"Bun, kenapa omongan orang itu selalu sama dan dengan pertanyaan yang sama, terlebih membedakan sampai tingkat usia ataupun sekolah padahal Rein selama disini jarang keluar rumah, apalagi sampai mengganggu mereka." Jawabku dengan pipi yang masih basah karena tetesan air mata yang sebenarnya tidak ingin ditangisi.
"Rein, kamu tidak meminta apapun dari mereka, seperti makan, uang jajan, uang kuliah dulu ataupun biaya apapun apalagi tentang pernikahan sama sekali mereka tidak akan ikut andiil jadi kamu tidak usah hiraukan semua perkataan mereka. Anggap saja itu adalah motivasi terbesarmu untuk kamu melangkah terus maju, karena sukses itu butuh pengajaran, tantangan, rintangan yang berat. Jangan menjadikan mu malah semakin redup." Nasihat Bunda yang mungkin memang benar kalau faktanya kesuksesan itu butuh perjuangan yang berat.
Tertanamlah di dalam hati dan  pikiranku kalau memang kesuksesan itu adalah rasa sakit yang harus diperjuangkan bukan hanya sekedar kata-kata yang tidak dicoba untuk dibuktikan dengan perbuatan. Sesuai dengan buku yang di tulis oleh Dr. Sumardi, M.Sc yaitu Rahasia Menuju Sukses disebutkan bahwa manusia diibaratkan sedang mendaki gunung yang terdiri dari 3 kelompok. Ada sekelompok orang yang memandang gunung yang tinggi itu sangat menantang dan menggairahkan untuk didaki, kelompok itu disebut dengan pendaki atau "Climbers". Ada sekelompok orang yang merasa mendaki gunung itu memang sulit tetapi harus dijalani karena ada imbalan untuk setiap prosesnya, sehingga terkadang mereka terlena karena menikmati setiap pencapaiannya. Mereka disebut kelompok penikmat atau "Campers". Terkahir ada sekelompok orang yang ketika melihat gunung yang didaki menjulang tinggi dan terjal langsung merasa tidak percaya diri dan menyerah kelompok tersebut disebut pecundang atau "Quiters".
Berdasarkan buku tersebut aku banyak mendapatkan beberapa hal  tentang membandingkan dari sebuah perbedaan antara diri kita dengan diri oranglain. Sebelum membahas dari perbedaan itu sendiri makna dari kata sukses bukanlah gambaran dari seberapa tinggi kita mendapatkan gelar, arti sukses itu bagaimana setiap proses dari ilmu dan wawasan yang didapat sehingga mampu memberikan influence terhadap orang lain yang tentunya pengaruh yang positif. Jika dimisalkan si A hanya lulusan SMA tapi dia memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih maka si B yang sudah sarjana tapi tidak memiliki wawasan yang lebih sehingga ia hanya berada diruang lingkup yang ia pelajari saja tanpa mengetahui target apa yang ingin ia capai setelah menjadi sarjana. Jadi, sukses bukanlah perbedaan dari berapa tingginya degree yang kita ambil tapi bergantung pada sudut pandang dan penilaian terhadap diri kita bukan terhadap oranglain.
Perbedaan dalam status sosial ataupun latar pendidikan bukanlah suatu hal yang harus dibandingkan. Berbeda dalam karier, prestasi materi, peran sosial, dan kesejahteraan bukanlah tolak ukur yang harus mendasar dalam menilai terhadap perbedaan antara diri kita dengan orang lain. Melainkan tolak ukur akan pencapaian target dari masing-masing orang untuk terus membuat dirinya berkembang dengan menambah pengetahuan agar bisa menjadi orang yang bisa memberikan benefit terhadap orang lain, dan jelas degree itu bukan the view of point dari perbedaan antar sesama dalam sudut pandang yang berbeda namun berbeda dalam usaha dan target dari orang tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H