Mohon tunggu...
Isma Nita
Isma Nita Mohon Tunggu... -

pemburu ilmu,....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Cinta Untuk Ustadku

17 November 2011   07:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 3490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah jatuh cinta. Aku pernah. Bagaimana rasanya?. Huh menyiksa. Hangat. Kadang bikin malu. Bahagia. Pokoknya berjuta rasanya. Bagaimana kalau orang yang kau jatuh cintai itu ada lah gurumu sendiri?. Apa?.  Jangan terkejut dulu kawan. Lanjutkan saja membaca cerita ku ini.  Perlu diketahui aku ini alumni sebuah pondok pesantren di pulau sumatera sana. Maka dari sinilah cerita ini bermula. Yok lanjut.

Menuntut ilmu dipesantren merupakan kehendak orang tuaku. Aku menurut saja saat orang tuaku mengantarku ke pesantren tersebut. Aku memahami betapa orang tuaku begitu peduli dengan pendidikanku. Mereka mengharapkan ku tidak hanya pintar dalam ilmu dunia tapi juga ilmu akhirat.  Khawatiran tentang perkembangan diriku menjadi salah satu pertimbangan mereka.  Apalagi melihat pergaulan anak-anak sekolah dikampungku sangat jauh dari nilai-nilai islam.  Jalan berdua dengan lawan jenis itu biasa. Ngebut pake motor ulah sehari-hari.  Main playstation jadi kebutuhan.  Untuk menjagaku dari kemungkian salah pergaulan karena pengaruh lingkungan maka di pilihlah pesantren sebagai alternative solusi menjagaku. Lagi-lagi aku menurut saja. Hhuff emang aku ini anak penurut pada dasarnya. Ha..ha narsis.com.  Karena aku tidak membaca ada maksud lain orang tuaku menempatkanku di pesantren, maka aku ikut saja. Tidak pernah aku berfikir, bahwa orang tuaku melepaskan tanggung jawabnya mendidikku dengan meletakkanku di pesantren ini. Aku ucapkan beribu syukur dengan kepedulian orang tuaku ini. Dan ternyata aku bisa betah sampai tiga tahun lamanya. 360 hari di kali tiga. Berapa ?. Hitung aja sendiri. :P

Seperti pondok pesantren pada umumnya, interaksi antara santri putra dan putri sangat dibatasi.  Demikian pun dengan ponpes tempatku menimba ilmu ini. Interaksi dengan lawan jenis tanpa kepentingan syar’I, bukan dengan muhrim, dan dilakukan secara sembunyi lagi merupakan pelanggaran berat dan bisa-bisa dikeluarkan dari pondok.  Banyak juga kasus yang demikian.  Tapi tidak denganku kawan.  Aku adalah anak baik. Itu menurut perkataan guru-guruku ketika berbicara dengan orang tuaku.  Kasus ku ini adalah permasalahan dalam diriku sendiri.  Walaupun itu sebuah masalah, tapi bukan merupakan sebuah pelanggaran.  Setidaknya aku tidak pernah diberikan surat peringatan karenanya. Catatan ini ku tulis ketika aku sudah alumni dari pondok.  Tidak ada maksud lain selain untuk berbagi pengalaman. Karena pengalaman adalah guru yang terbaik.  Semoga yang lain bisa mengambil pelajaran darinya.

Ustad dan umi, demikian kami memanggil guru-guru di pesantren ini. Kedekatan kami melebihi guru dan murid yang hanya berinteraksi di jam formal sekolah saja. Kedekatan kami lebih dari itu.  Karena hampir dua puluh empat jam kami berinteraksi, disekolah, diasrama dan dilingkungan pesantren. Mereka bisa menjadi tempat curhat, tempat dimintai tolong, kadang juga tempat minjam uang kalau kiriman belum sampai. Mereka sering mengganggu tidur malam kami, membangunkan untuk sholat tahajud. Kadang juga kami kesal dengan mereka karena terlalu banyak mencampuri urusan pribadi kami.  Kami juga berhak bebas, tanpa di ikuti dengan taujih-taujih.  Seorang kawanku pernah berkata “Aku benar-benar kenyang dengan taujih”. Taujih adalah nasehat. Karena hampir setiap hari dapat.  Kadang aku mikir mereka itu bosan gak sih marahin kami. Nasehatin kami. Kadang ada juga umi yang nangis gara-gara ulah kami. Kadang mereka juga sampai kalang kabut, kalau ada teman yang kabur dari pesantren gak bilang-bilang. Ya iyalah namanya juga kabur.  Hufft aku aja mungkin gak sanggup kalau jadi guru di pesantren.  Apalagi untuk menjaga anak-anak orang sebanyak itu. Tapi itu memang tanggung jawab mereka.

Pengajar di pesantren kami sering sekali berganti.  Menurut cerita umiku, tidak semua guru bisa bertahan ngajar dipesantren. Apalagi harus tinggal di asrama pula. Berat. Gak betah.  Ternyata bukan kami saja ya, yang merasa tidak betah. Tapi ada juga yang bisa bertahan. Rata-rata umi dan ustad yang mengajar kami masih muda.  Makanya mereka sering bilang, kita sama-sama belajar disini.  Kemudaan ini tidak berarti membuat kami kehilangan rasa hormat dengan mereka.  Walaupun  ada juga diantara mereka, yang grogi mengajar didepan kami.  Kemudaan mereka juga membuat dunia kita lebih dekat. Cerita lebih nyambung. Informasi yang up date bisa didapatkan dengan mudah. Kadang ada ribut juga. Ah macam-macam. Umi dan ustad juga manusia.

Kadang kemudaan mereka ini justru menjadi ancaman juga buat kami. Hah Ancaman bagaimana maksudnya?. Ya ancaman.  Tahulah kawan bagaimana kami masa itu. Masa pubertas yang menjadi ancaman juga buat kami.  Apalagi interaksi dengan lawan jenis ini dibatasi. Maka ustad kami ini lah yang menjadi korbannya. O..la..la korban…ha..ha..ha...  Secara gitu loh ustad kami ini pada keren dan wangi. Jadilah banyak kami yang merasakan perasaan lain dengan ustad. Ini terbukti dari cerita-cerita kami di asrama.  Bahkan ada yang sampai nekat bikin surat segala.  Tak terkecuali diriku kawan. Walaupun surat itu tidak pernah tersampaikan atau terucapkan didepan mereka. Yah ustad ada cinta untukmu.  Mungkin kami saja yang salah mengartikan perhatian ustad.  Kami lebih perhatian kalau ustad yang ngajar.  Bahkan sampai seorang umi bilang “pembagian perhatian kalian ini membuat umi merasa di ibu tirikan” ha..ha..ha... Maaf deh umi.  Mungkin juga perasaan ini timbul karena kami membutuhkan figure seorang ayah dan kakak.  Entahlah.

Perasaan ini hanya bisa kami ceritakan dengan kawan se asrama.  Bercerita pada diari. Kadang ada juga yang sampai stress dibuatnya. Kadang curhat dengan umi bisa bikin perasaan sedikit tenang.  Walaupun perasaan seperti ini baru akan hilang seiring perjalan waktu. Apa lagi bertemu saat belajar dikelas. Bukan apa-apa, disamping harus konsentrasi menyerap pelajaran dari guru tersebut, ditambah dengan perasaan yang lain. Tentu saja berdampak pada psikologis. Dalam belajar tentu saja kami harus memandang siapa yang ngajar.  Oh ya pendapat ulama mengatakan bahwa memandang lawan jenis itu dibolehkan dalam tiga hal. Pertama, saat jual beli. Kedua pengobatan (pasien dan dokter). Dan ketiga pada proses pendidikan.  Tentu saja dalam kadar dan kapasitas yang sesuai kebutuhan. Intinya tidak berlebihan.

Pernah juga seorang kawan yang kami ketahui jatuh cinta atau kagum sama seorang ustad.  Ketika sang ustad menikah, maka sakitlah kawan kami itu dibuatnya. Sampai tidak mau masuk sekolah. Broken heart nih ceritanya. Kalaupun aku pernah jatuh cinta dengan ustad. Tapi tidak membuatku berhenti sekolah, apalagi membenci guruku itu.  Bahkan perasaan menjadi tenang. Karena terbebas dari ancaman.  Maka ku pesankan pada ustad-ustadku yang belum menikah. Segeralah menikah.  Ini doa kami.  Amiiin. Ku kira ini bukan cerita kami saja. Ini bisa terjadi sama semua orang. Sekali lagi maaf ya ustad.

Hidup dipesantren mengajarkan kami arti hidup yang sebenarnya.  Mengajarkan kami untuk hidup dibawah tekanan, kemandirian, keikhlasan dan kesabaran yang tinggi.  Terkurung dalam penjara suci. Itu istilah kami. Harus mengorbankan kenyamanan yang biasa kami dapat dari rumah.  Dimana menu makanan tidak bisa direquest seperti dirumah. Pembagian perhatian yang jatahnya berkurang.  Karena harus berbagi dengan kawan-kawan yang lain. Memaksa diri dengan hal-hal baik. Untuk urusan sholat ini yang paling berat.  Pada awalnya kami dipaksa untuk bangun sebelum subuh. Berlari kemasjid.  Kena marah pengurus kalau telat. Lama-lama jadi kebiasaan. Dan sekarang kalau tidak dilakukan ada yang kurang.  Warna-warni kehidupan selama dipesantren telah mencelup diriku menjadi seorang gadis remaja yang siap menghadapi tantangan.  Siap bermasyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun