Perempuan itu menjual seluruh pelukanku ke toko kelontong sebelah rumahnya.Â
Ciumanku ditukar dengan sebatang rokok dan segelas susu basi untuk meredakan hatinya yang sekarat.Â
Kita sudah selesai, kau pergilah.Â
Langit menjilat birunya.Â
Ucapan sembrono itu seperti luka basah yang ia sentuh dengan sengaja.Â
Degup jantungku serupa grave pada uoacara kematian.
 Aku mencintaimu -- seluruh yang ada padaku, punyamu.
Tubuhku mengeluarkan api,Â
namun air matanya persis air yang mengaliriku.Â
Bangsat, aku disihir.Â
Hatiku ditelanjangi, persis tubuh tanpa busana.
 Hampir satu dekade, aku memujanya.Â
Menenggelamkan diri, memeluknya dalam gigil, menebas segala sulitnya meski sekarat.
Sore itu, garis tangan menentang takdir.Â
Perempuanku, meninggalkan bekas bibirnyaÂ
di tubuh lelaki yang ku kenali sejak bayi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H