Mohon tunggu...
Ismaliyah Yusuf Rangkuti
Ismaliyah Yusuf Rangkuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Terpilih Sayembara Menulis Cerita Anak BBSU 2020

Berpelesir, Menulis, Membaca dan Tertawa. Menulis adalah obat bagi saya yang ingin lekas pulih setiap hari; adalah perjalanan liar yang bebas saya tempuh meski tanpa kompas yang utuh; adalah cinta-kasih yang saya beri izin tumbuh meski tanpa seorang kekasih. Sepanjang nafas yang Tuhan pinjamkan, ada beberapa buku yang telah saya terbitkan. Karya utama saya adalah "Surga Tersembunyi di Pulau Nirwana" berupa cernak yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Sumatera Utara, lalu diramaikan oleh "Bangau Putih" buku puisi perdana saya. Dan beberapa buku lain berupa Antologi bersama yaitu "Ada Bena di Adiwidia", "Agrari", "Ingatan Edelweiss". Terimakasih sudah singgah dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Mati Tanpa Suara Tembakan

8 Desember 2023   12:48 Diperbarui: 8 Desember 2023   12:54 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu mengajarkanku banyak hal, setiap hari aku berkunjung selalu ada pelajaran baru yang ku dapatkan dan ku bawa pulang, belajar membaca, menulis, berhitung, dan menyulam, bahkan sampai pada cerita cerita yang menginspirasiku untuk punya mimpi yang tinggi. Tak ada kisah pilu yang menyedihkan yang ibu ceritakan, itulah mengapa aku merasa ibu adalah orang baik, dan aku tak perlu mencari tahu lagi penyebab ibu mendekam di tempat kematian ini. Aku memang diizinkan untuk masuk ke dalam sel ibu, para penjaga sel sudah mengenalku sejak aku masih kecil dibawa berkunjung oleh pak Tolu atau buk Fatma ke sel ibu, bahkan sewaktu kecil aku sering bermain dengan penjaga sel di rutan ini.

"Masih ingat pesan ibukan, Zay?" Tanya ibu di kunjungan terakhirku

"Masih, Bu. Jangan berhenti berdoa dan selalu dekat dengan Tuhan" aku menatapnya lekat sore itu, memegang tangannya erat, menyeka air mata yang keluar di ujung pelipis matanya. Dan dia pun melakukan hal yang sama padaku

"Maaf, ibu tak bisa membesarkan mu dengan baik, dan harus meninggalkanmu dengan waktu yang harus kau ketahui. Tak ada rahasia Zay, tak ada lagi kesedihan yang ibu takuti, ibu merasa lebih berguna setelah masuk ke pulau ini. Semua hal yang ibu ajarkan padamu, terima dan lakukanlah dengan baik. Hanya itu yang bisa ibu berikan" ucapnya dengan air mata yang tak berhenti

"Aku percaya Tuhan Maha Kuasa Bu, seperti yang kau katakan, Hidup dan mati kita hanya Tuhan yang tahu dan punya kehendak. Kau melakukannya dengan sangat baik, menyusuiku, mengajarkanku, dan menasehati ku, tak ada satupun kekurangan yang ku rasakan, bagiku kau tetaplah ibu yang melahirkanku, bukan seorang wanita dengan terpidana hukuman mati." Jawabku menguatkannya.

Sesampainya dirumah, bapak dan buk Fatma sudah menungguku di pelataran rumah, tempat kami biasa bercengkrama. Wajah keduanya tampak sendu, sesekali buk Fatma menoleh ke samping untuk menyeka air matanya agar tak terlihat olehku. Seperti ada hal penting yang ingin disampaikan bapak, dari jauh bapak memanggilku dengan melambaikan tangan kanannya.

"Zay, duduk disini. Ada yang mau bapak dan ibu sampaikan" ucap bapak mengawalinya yang sontak membuatku terkejut, ini pertama kalinya bapak memanggil namaku, ada rasa senang ketika aku mendengarnya, namun kesedihan yang mendalam justru meresap ke dalam relung hatiku.

Aku duduk dan menunduk, mencoba menguatkan diri atas apapun yang akan disampaikan oleh bapak.

"Zay, akan ada banyak hal yang terjadi hari ini, begitupun dengan apa yang akan bapak sampaikan padamu, menjawab pertanyaanmu selama 15 tahun terakhir ini, tentang ibumu ." Ucap bapak sambil menatapku dengan lembut

"Ada apa, pak? Kenapa tiba-tiba bapak ingin menceritakannya?" Tanyaku

"Sejujurnya, cerita ini adalah janji bapak kepada ibumu, bahwa sampai kapanpun cerita ini akan kami bawa sampai mati, tanpa harus kamu ketahui. Sebab ibumu tak mau, kau terngiang akan kisahnya yang dia sendiri pun takkan tahu bagaimana reaksimu setelah mendengarnya, intinya ibumu takut kehilanganmu dan kau akan membencinya" jawab bapak tenang kepadaku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun