"sementara waktu menginaplah dulu di sini, malam sudah terlalu larut" ucap wanita separuh baya yang ku temui di sebuah klub malam
Kehidupan ini kejam, dia merenggut harapan dan impian yang ku pupuk sejak aku masih hidup sebagai perempuan bahagia. Bukan tak pernah melewati masa sulit, namun diriku yang dulu dengan yang sekarang memang sudah jauh berbeda. Aku kehilangan diriku sendiri. Dan kini ku temukan kembali, sejak wanita paruh baya itu mencampuri kehidupanku.
"Makasih Bu, eh kak, saya bisa menginap di tempat lain" jawabku ketus
"Kota ini terlalu kejam untuk dilalui perempuan muda sepertimu, bukan saya sok baik, tapi saya sudah 3 tahun beradaptasi di kota ini. Beruntungnya saya sudah paham mengatasi situasi terburuk yang bisa saja terjadi tanpa saya duga" ucapnya sembari menyengirkan bibir
Ada kekecewaan disana, di raut wajahnya. Ada ketidakinginan hidup yang mau tak mau harus dilaluinya sebagai wanita perantauan yang di lempar jauh dari garis besar keluarga.
"Masuklah, setidaknya izinkan saya membantu malam ini saja, besok ya terserah kamu" pintanya
"Ya, hanya untuk malam ini saja saya berhutang Budi, tapi akan saya balas lain waktu " jawabku terima dengan rasa sedikit gengsi
Aku melangkah melewati koridor rumah sepetak, seperti mes yang hanya ada kamar tidur, dapur seadanya dan kamar mandi. Hanya tempat yang cukup untuk berlindung dan berteduh dari panas dan hujan.
Wanita itu memintaku duduk dan membuatkan ku secangkir teh hangat, ruangan tidurnya tersusun rapi dan bersih, tak seperti yang kubayangkan hanya karena dia bekerja di sebuah klub malam rumahnya pasti berantakan dan bau alkohol. Aku tak berani menanyakan namanya, karena aku dibawanya dalam keadaan dibawah pengaruh alkohol. Aku memperhatikan sekeliling ruangannya, ada sebuah foto yang di pajang di dinding rumahnya. Foto nya dan seorang anak laki laki. Pikirku itu pasti anaknya. Dan dia menyadari aku menatap foto itu
"Itu foto anak saya, Â sewaktu umurnya 3 tahun" ucapnya sembari menuangkan teh kecangkir kami berdua
"sekarang dia kemana?" Tanyaku penasaran
"Tak tahu, aku kehilangannya di stasiun kereta, sekarang usianya pasti sudah seusiamu" jawabnya tampak sendu
"Sudah coba mencari, atau melaporkannya ke pihak yang berwenang" tanyaku
"Tak ada hasil, keluarga saya hanya bisa menyalahkan saya, ya begitulah. Diminum dlu, selagi hangat" jawabnya memutuskan pembahasan kami
"Kalau boleh saya kasih saran, kalau kamu ada masalah coba cari tempat yang lebih tenang, laut atau daerah perkampungan yang menyegarkan, jangan ke klub malam" ucapnya sontak membuatku heran
"Saya merasa menjadi manusia kalau sudah masuk klub, entahlah tenang rasanya, saya bisa melanjutkan hidup lagi untuk besok" jawabku tunduk sambil menghangatkan telapak tangan dengan secangkir kopi buatannya
"Ibu sendiri, eh kakak sendiri kenapa mau kerja di klub?" Tanyaku
"Karena tato yang saya miliki, tempat kerja lain menganggap saya sudah bukan perempuan baik baik, hanya klub yang mau terima. Bahkan jadi pembantu saja mereka tak sudi menerima saya" sambil menunjukkan tato yang ada di tangan, kaki dan tengkuknya
"Banyak sekali" ucapku merasa terkejut. Karena di klub aku tak terlalu memperhatikan sebab cahaya lampu dan mataku yang remang.
"Sudahi saja, dik. Ketenangan yang kamu temukan di klub itu hanya ilusi. Tempat itu takkan pernah bisa memanusiakan manusia, semua yang disana sudah menjadi hantu yang berjalan, tak punya tujuan hidup. Mereka merasa hidup tapi sebenarnya mereka sudah mati. Termasuk saya." Ucapnya padaku malam itu
"Kau tak paham, masalah hidup yang ku hadapi sampai saat ini, semua orang hanya pandai bicara, tapi dirinya sendiri pun tak bisa diselamatkannya" jawabku mulai ketus
"Itu karena tak ada tempat untuk kami bisa kembali pulang, sudah terlalu jauh kami hanyut dalam kesenangan yang menipu, menganggap hidup ini hanya patut di ratapi, kamu masih muda, masih banyak hal yang bisa dilakukan sebelum terlambat. Kamu hanya kehilangan dirimu sendiri, bukan anakmu, keluargamu apalagi duniamu. Kamu yang menghilangkan diri, bukan mereka yang meninggalkanmu." Jawabnya yang membuatku tertegun dan merasa tertampar dengan kalimat terakhirnya.
"Tidurlah, saya harus bangun pagi pagi sekali besok, tak bisa mengobrol lama" ucapnya mengakhiri obrolan kami
Wanita itu meninggalkanku dengan kalimat yang membuatku merasa bersalah pada diriku sendiri. Dia benar aku yang menghilangkan diri bukan mereka yang meninggalkanku, dia bekerja di klub karena tak ada tempat lain untuknya, sedangkan aku menjadikan klub pilihan terakhir dari banyaknya tempat yang bisa ku kunjungi.
Malam itu, aku menemukan diriku kembali hanya dengan jamuan secangkir teh hangat di pukul 02.00 pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H