Seandainya BG menang di sidang praperadilan, tetap saja tidak bagus bagi Presiden Jokowi untuk melantik BG sebagai kapolri. Kepercayaan rakyat padanya tidak seratus persen pulih. Dalam logika rakyat, mendapat pinjaman dana 54 milyar atas nama anaknya yang juga polisi, yang kemudian digunakan untuk berbisnis merupakan sesuatu yang janggal. Pada dasarnya, rakyat Indonesia mengangankan pemimpin bangsa dan anggota DPR/MPR yang sangat bersih.
Mengapa publik lebih berpihak kepada KPK? Menurut saya karena rakyat Indonesia cemburu pada oknum-oknum penguasa, oknum-oknum penyelenggara pemerintahan, oknum-oknum anggota dewan, dan oknum-oknum pengusaha bergelimang harta. Kekayaan mereka bermilyar-milyar. Jika dirincikan berapa lama mereka menjabat, berapa harta yang terkumpul selama menjabat, kemudian dijumlahkan dan dibagi, maka terpampang penghasilan mereka sangat fantatis, yang tidak dapat diterima oleh nalar.
Sementara sebagian besar rakyat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Contoh saja, berapakah pendapatan guru honor? Ada yang menerima tiga ratus ribu, lima ratus ribu, delapan ratus ribu sebulan. Saya terpana ketika mendengarkan pengakuan seorang teman yang berstatus guru honor bahwa penghasilannya hanya lima ratus ribu rupiah sebulan. Padahal, dia sarjana pendidikan dan dia kepala keluarga. Untuk menutupi kebutuhan, sepulang sekolah, ia terpaksa masuk kampung keluar kampung dengan motor menjual apa yang bisa dijualnya. Dapat beras, ia berjualan beras, dapat baju, ia berjualan baju. Teman saya yang berstatus guru honor dan berpenghasilan di bawah sejuta sebulan, tidak hanya dia, justru banyak. Mereka jadi guru honor bertahun-tahun tanpa tahu kapan diangkat. Mungkin Anda bertanya, bukankah nasib guru sekarang sudah meningkat tajam? Nasib mereka tidak lagi bernasib sama seperti Umar Bakri, seorang guru dalam lagunya Iwan Fals? Itu betul juga, tetapi hanya guru PNS, tidak guru honor. Ini hanya salah satu contoh sebuah profesi, di mana penyandangnya; memiliki pendidikan tinggi, mengajar dengan penuh cinta, tetapi mendapatkan penghasilan yang mengelompokkankan mereka ke dalam golongan penduduk sangat miskin. Masih banyak penyandang profesi-profesi lain yang kondisi keuangan mereka, sama dengan kondisi keuangan yang dimiliki para guru honor.
Lalu, bagaimana dengan mereka dari kalangan bawah dan tidak berpendidikan pula? Sama saja, mereka hidup dalam garis kemiskinan. Meskipun bekerja dari terbit matahari sampai terbenam matahari, penghasilan mereka kadang-kadang tidak cukup untuk makan. Jumlah mereka sangat banyak, sebagian besar rakyat Indonesia. Jika sudah sampai siang bekerja mengandalkan otot, sampai mau rontok rasanya badan, uang pembeli sebungkus nasi belum juga di tangan, terbayang pula anak istri menunggu di rumah, mereka hanya bisa mengeluh dan mennggugat, mana Indonesia yang kaya raya? Indonesia yang tanahnya tanah sorga, tongkat dan kayu jadi tanaman. Ah, itu hanya ada dalam nyanyian.
Dengan rasa cemburu, masyarakat miskin melihat kalangan tertentu bagaikan memiliki tambang uang. Bagaimana tidak cemburu, ketika perut mereka perih karena belum makan, di lain pihak anak istri yang di sana melintas dengan mobil-mobil dan tas-tas berharga ratusan juta, yang jumlahnya jika ditotal jadi hitungan M. Bagaimana tidak hitungan milyar, kalau satu tas hermesnya saja berharga 500 juta. Bahkan, tidak hanya golongan yang sangat miskin saja yang iri, tetapi juga golongan menengah yang sudah mampu memberi anak-anak mereka makan bergizi, menyekolahkan, serta membelikan rumah dan mobil untuk keluarga, meskipun kredit.
Saat terbakar api cemburu tersebut, tiba-tiba KPK menjadikan orang-orang yang mereka cemburui sebagai tersangka, karena terindikasi kasus korupsi. Bagi mereka, institusi KPK jadi sosok "hero". Apalagi, selama ini KPK membuktikan di persidangan bahwa siapa pun yang duduk di kursi panas, benar telah merampok uang rakyat. Dalam pemikiran mereka, karena kasus korupsilah rakyat Indonesia tidak beranjak dari garis kemiskinan. Oleh sebab itu, sepak terjang KPK terhadap koruptor harus didukung.
Jika ternyata, dalam menjalankan tugas-tugasnya ada juga tim KPK melanggar hak-hak tersangka, mereka tak lagi peduli. Misalnya, dulu pernah SBY mangangkat masalah penyadapan dalam proses kerja KPK. Diwacanakan KPK memerlukan izin dari suatu institusi terlebih dahulu sebelum melakukan penyadapan. Suara-suara rakyat pun menyatakan ketidaksetujuan. Kalau memang penyadapan dapat membongkar kasus korupsi, buat saja payung hukum yang membolehkan hal tersebut.
Akhir-akhir ini borok-borok pemimpin KPK diungkit, besar kemungkinan mereka akan menjadi tersangka. Di sisi lain, rakyat was-was dan khawatir. Apalagi, pada dasarnya mereka belum bisa menerima kenyataan yang dipaparkan tentang pemimpin KPK. Kadang mereka percaya kadang tidak. Rakyat juga bingung karena menyadari begitu banyak kepentingan yang menyelimuti setiap pernyataan-pernyataan orang penting di televisi dan media cetak. Kepentingan-kepentingan tersebut terasakan oleh rakyat, tapi tak terkatakan. Saat menyadarinya, hati mereka terasa perasa perih. Oh sakitnya tuh di sini, mereka membatin.
Apa pun itu, rakyat tetap menginginkan KPK tidak tumpul, KPK yang bertaring, yang sepak terjangnya mampu memberangus koruptor. Rakyat tidak mau Indonesia miskin karena para koruptor. Mereka cemburu jika kekayaan hanya bertumpuk pada para koruptor. Oleh sebab itu, pemimpin KPK dan kapolri harus seperti malaikat yang bersih dari nafsu buruk. (Rabu/4Feb/2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H