Mohon tunggu...
Isma Karin
Isma Karin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Surat Terbuka untuk KPI Terkait Sinetron "Anak Langit"

16 Maret 2017   04:26 Diperbarui: 16 Maret 2017   04:39 3671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: musikpedia.site

Dampak sinetron terhadap pertumbuhan anak sangatlah besar. Maka bila sinetron yang disuguhkan itu alay, tawuran, serta adegan-adegan yang tidak mendidik lainnya, maka generasi muda kita juga tidak akan jauh dari kebiasaan yang sama dalam kesehariannya.

Sudah beberapa hari ini, saya dibuat kesel, sebel, dan bingung sama sinetron-sinetron gak jelas di tv. Pasalnya, sinetron-sinetron sekarang itu alay-alay. Banyak menayangkan adegan yang tidak mendidik kepada generasi muda.

Bayangkan, judul sinetronnya “Anak Langit,” saya kira, filmnya bisa terbang gitu. Atau sinetron seperti Kera Sakti atau Sun Go Kong yang bisa terbang ke langit berlapis-lapis. Eh, tau-taunya, adegannya malah banyak menayangkan adegan balapan, tawuran, geng-gengan, pacaran, dan ugal-ugalan ketika bermotor.

Coba lihat ini, salah satu adegan dalam sinetron Anak Langit. Betapa buruknya percakapan dan tindakan aktornya dalam berakting. Adegan-adegan semacam ini, akan sangat mudah ditiru oleh anak muda. Mereka akan terinspirasi oleh adegan tersebut.

Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa tentang hal ini. Saya hanya ingin sekali bertanya kepada lembaga yang mempunyai hak otoritas tertinggi dalam dunia penyiaran dan perfilman di Indonesia, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Yang ingin saya tanyakan adalah, kok bisa-bisanya sinetron semacam ini lolos, bebas ditayangkan, dan dikonsumsi publik? Apakah KPI memang sengaja ingin menghancurkan moral anak muda melalui sinetron ini? Atau, apakah KPI nggak tau berapa banyak anak muda sekarang yang menjadi korban akibat tawuran? Berapa banyak anak sekolahan yang meninggal akibat tawuran?

* * * * * * *

Pak, Bu, yang ada di KPI. Kelakuan anak muda tawuran yang banyak terjadi selama ini, itu bukan diajarin sama guru mereka. Bukan pula diajarin oleh orang tua mereka. Tapi pure, karena mereka meniru dan terinspirasi oleh sinetron-sinetron gak mendidik yang kalian loloskan itu.

Pak, Bu, yang ada di KPI. Gak akan ada gunanya Pak Polisi selama ini bikin poster sampe puluhan ribu, dipasang di berbagai daerah, di pinggir jalan dan di sekolah-sekolah, kalau anda masih tetap meloloskan sinetron-sinetron alay yang mengajarkan kekerasan seperti sinetron Anak Langit itu. Gak Guna, Pak, Bu! Sia-sia!. Maka dari itu, tolong lah hargain usaha Pak Polisi yang selama ini berjuang melawan adanya tawuran.

Sumber Gambar: tribatanews.com
Sumber Gambar: tribatanews.com
Itu yang pertama, yang ingin saya tanyakan selama ini. Yang kedua bukan pertanyaan, tapi saya merasa aneh dan bingung aja sama kinerja KPI.

Begini, kalau ada yang suka dangdut, pasti pada tau sama acara pencarian bakat Dangdut Academy di Indosiar. Ya, acara Dangdut Academy sempat diberhentikan oleh KPI, gara-gara Bang Nazar berantem sama Teteh Dewi Persik, sampe mengeluarkan kata-kata kasar saat acara sedang live.

Kenapa saya bingung? Ya jelas bingung lah. Masak acara Dangdut Academy yang gara-gara berantem dan berkata kasar saja sempat diberhentikan, sementara sinetron yang mengajarkan tawuran, keroyokan, balap-balapan, dan adegannya diputer ulang-ulang, tidak diberhentikan?. Standarisasi pemberhentian sebuah tayangan di televisi itu seperti apa dan bagaimana sih sebenarnya?.

Padahal nih, ya. Kalau ditanya sama anak SD pun, lebih parah mana antara berantem sama tawuran?, anak SD itu pasti tau dan akan menjawab bahwa tawuran lah yang lebih parah. Berantem kan satu lawan satu. Kalau tawuran berjamaah, main keroyokan. Lha terus, kenapa yang diberhentikan acara Dangdut Academy, sedangkan sinetron “Anak Langit” yang jelas-jelas menayangkan adegan tawuran gak diberhentiin? Bingung, kan?. Ya udah, saya juga bingung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun