Mohon tunggu...
Isma Nuryani
Isma Nuryani Mohon Tunggu... Guru - Guru sekolah dasar di wilayah kabupaten Cilacap

Seorang guru sekaligus Ibu dari dua anak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Kesetiaan

12 Mei 2022   19:59 Diperbarui: 12 Mei 2022   20:01 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu hujan baru saja reda, mushola masih sepi jamaah, hanya ada beberapa anak yang berlarian bermain di sekitar Mushola. Terlihat Pak Giman menuntun istrinya yang memegang tongkat, membawa tas cukup besar yang diselempangkan dilehernya. Pak Giman menguncupkan payung yang tadi dibawanya bersama sang istri. Terlihat sejoli berumur nampak tertatih-tatih. Dari cara mereka berjalan terlihat usia mereka sudah tak lagi muda.

Aku memperhatikan keduanya berjalan bergandengan, dengan penghalang mukena saja untuk menjaga wudhu Bu Inem.
"mbah..mbah sini aku bantu" ucapku.
"iyah mb... Mbah pengin sholat teraweh di Mushola"  Bu Inem mengatur nafas. Pak Giman menunggu istrinya sampai duduk.

"pak, ni isi airnya" tampak bu Inem mengeluarkan drigen kecil dari tas nya untuk diisi air. Langsung saja Pak Giman mengikuti permintaan istrinya. Meski tak segesit anak muda, Pak Giman sigap siaga menemani sang istri.

Aku berdiri di depan Bu Inem sambil mengawasi si kecil yang berlarian kesana kemari. Ku lihat satu persatu barang dari tas Bu Inem dikeluarkan. Mulai dari sarung, sajadah, sampai uang yang disiapkan untuk mengisi kotak amal.

"mbah mau shalat pake kursi?" tanyaku.
"pake bangku itu aja mba yang lebih kuat, mbah gk bisa duduk dibawah sekarang kalo sholat"
"owh...iyah mbah...aku ambilkan ya..."
"Jangan mb, berat... Nati nyuruh ponakan aja" kemudian Bu inem memanggil keponakannya yang dari tadi sudah berlarian di Mushola.

Setelah mendapatkan meja untuk duduk, Bu Inem memanggil suaminya kembali untuk memasukan uang ke kotak amal. Seperti yang aku lihat, tak ada penolakan dan tak ada keluhan yang nampak dari wajah Pak Giman. Aku pun penasaran dan merasa terharu. Di usia senja dengan keterbatasan tenaga mereka selalu bergandengan tangan.

"Mbah... Mbah kakung sabar dan setia banget ya..." pujiku untuk Pak Giman.
"iya, mba... Tapi bapak sudah mulai pikun"
"apa iyah mbah...?" tanyaku penasaran. Bu Inem menceritakan pikunnya suami yang selalu ada disampingnya.

Pak Giman lelaki tua yang sudah mulai pikun. Lupa jumlah rokaat sholat, kadang juga sholat sunah tapi lupa sholat wajib. Sehingga istrinya, Bu Inem harus mendampinginya saat sholat. Setiap selesai sholat pasti di tanya "sholat apa pak?"
"Bada dhuhur"
"apa sholat duhurnya sudah?"
"sudah "
"dari tadi ibu disini, bapak cuman sholat dua rokaat tadi, brati bapak belum sholat dhuhur"
"apa iyah bu... "
"iyah... Sudah sholat dhuhur dulu" begitulah setiap kali Pak Giman sholat harus di dampingi Bu Inem.

Meskipun Pak Giman mulai pikun, beliau sangat sabar dan ikhlas membantu istrinya dalam beraktifitas. Kondisi Bu Inem yang sakit dan tidak bisa berjalan membuat Pak Giman harus membantu segala kegiatan istrinya. Mulai menuntun, mengambilkan barang, mebersihkan rumah dan semuanya. Kesabaran dan ketelatenan Pak Giman perlu di acungi jempol, begitu pula Kesabaran Bu Inem. Mereka ada sejoli yang bikin iri.

"Mbah sih anaknya berapa?terus mereka ada dimana?nanti pada mudik mbah?" Tanyaku karena aku tak pernah melihat anak-anaknya.
"mbah mah tidak punya anak mba... Dulu waktu hamil tiga bulan, mbah jatuh dari motor, pas priksa katanya rahimnya juga ikut kena mb... Katanya pecah gitu, sampai akhirnya mbah harus angkat rahim"
"Apa? Angkat rahim?" aku terkejut dengan jawabannya.
"iya, mba...jadi mbah nggak punya anak." sebenarnya hatiku hancur saat itu. Betapa sabarnya beliau, di usia muda, belum mempunyai anak harus angkat rahim yang artinya beliau tidak bisa punya anak. Sedangkan aku sudah punya dua anak tetapi kadang masih belum bisa bersyukur
"terus bapak gimana?" semakin penasaran.
"ya, nggak papa mb... Bapak menerima"jawab Bu Inem
"MasyaAllah..." aku tertegun dengan cerita Bu Inem, beliau berdua adalah sejoli yang luar biasa.
Masa tua mereka tanpa anak, membuat segala pekerjaan dilakukan berdua. Bu Inem tidak mampu berjalan sempurna, beliau membutuhkan tongkat untuk berjalan semenjak kecelakaan dahulu. Untuk berjalan menuju mushola yang jaraknya sekitar 50m harus berhenti sampai 5kali. Tetapi keinginan beliau untuk shalat taraweh di Mushola membuat kita yang sehat tertampar. 

Bisa dibayangkan mereka hidup saling berdampingan tanpa anak, saling menguatkan dengan segala kekurangan masing-masing. Si Bapak yang mulai pikun dan si Ibu yang lumpuh. Mereka bergandengan menjalani masa tua mereka untuk ibadah. Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Aamiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun