Mohon tunggu...
Ismail Surendra
Ismail Surendra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Perantauan Lamongan yang tidak berjualan pecel lele namun memilih nasib menjadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Persela Lamongan dan Degradasi yang Menyakitkan

2 April 2022   08:30 Diperbarui: 2 April 2022   08:40 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum Stadion Surajaya mempunyai lampu stadion, Persela yang selalu bermain di sore hari selalu ditunggu oleh orang-orang Lamongan sekalian. Entah hujan deras atau panas terik, mereka sangat antusias dengan Persela. Bahkan saya yang masih SD itu ingat, ada teman-teman saya yang diperbolehkan orangtuanya untuk bolos saat Persela bertanding. Diawal masa-masa kejayaan George Rodrigez Guzman dan Oscar Aravena itu sangat teringat bahwa Persela adalah klub baru yang sangat ditunggu setiap minggunya meski Stadion Surajaya masih seadanya tidak seperti sekarang. 

Surajaya menjadi stadion tempat bersilaturahminya orang Lamongan. Pekerjaan setiap hari sebagai pegawai pabrik, swasta, petani, nelayan, hingga penjual makanan ditanggalkan pada saat Persela berlaga. Persela telah menyatukan orang Lamongan dari beragam pekerjaan, tingkat ekonomi, hingga tiap desa di Lamongan yang mempunyai perbedaan budaya satu sama lain. Dalam hal kedatangan ke stadion, Persela pernah menempati posisi okupansi tertinggi ke dua pada musim 2016/2017. Persela hanya kalah 0,1 persen dari Persib Bandung yang menempati posisi tertinggi dengan okupansi sebesar 61 persen. Pada musim selanjutnya kedatangan supporter ke GSL juga tertinggi ke-dua di Indonesia dengan okupansi presentase 89 persen.

Teringat juga bagaimana saat Persela untuk pertama kalinya menjuarai Piala Gubernur Jawa Timur pada 2003. Itu adalah ke-2 kalinya orang Lamongan melakukan awayday besar-besaran setelah play-off di Manahan, Solo. Pada pertandingan melawan Deltras Sidoarjo yang dimenangkan Persela lewat adu penalti itu, kita semua yang hadir di Gelora 10 November, Surabaya sangat merasakan sukacitanya. Sepulang dari away, kita menjadi sangat mencintai Persela Lamongan. Besoknya di Lamongan sudah ramai dengan kabar bahwa Persela Lamongan adalah juara baru yang harus selalu orang Lamongan dukung.

Yah, kita semua tentu pasti selalu merindukan Stadion Surajaya yang di setiap pertandingannya kerap membuat macet jalan provinsi. Di sana kita bertemu kawan-kawan lama, minum-minum sebelum hingga sesudah pertandingan bersama, dan saat pertandingan menuntut keras agar Persela jangan sampai kalah. 

Semangat kedaerahan yang tinggi sebagai sesama Lamongan membuat ada rasa kekeluargaan yang tinggi di kalangan supporter Lamongan. Itu adalah nilai lebih yang sepertinya tim besar lain tidak punya. Persela adalah tentu didukung oleh orang-orang Lamongan sendiri. Tidak wajar rasanya jika ada orang daerah lain menjadi pendukung Persela karena Persela tentu tidak menawarkan apapun dalam hidupnya.

Tidak peduli dengan anggapan bahwa sepakbola adalah harus anti dengan politik. Adanya Persela dari awal hingga sekarang juga karena peran politik di Kabupaten Lamongan. Jika tidak ada politik yang turut membenahi Persela, orang Lamongan tentu tidak mempunyai hiburan setiap minggunya dengan menonton Persela bertanding. Toh seperti dijelaskan di awal, sepakbola bagi orang Lamongan juga menjadi sangat politis sebagai cara orang Lamongan menunjukkan politik identitasnya.

Tapi sekarang kita tahu, bahwa Persela Lamongan sedang terseok-seok dalam kompetisi BRI Liga 1. Persela yang dipaksa tidak bisa bertanding di stadionnya yang angker menjadi susah sekali untuk memperoleh kemenangan. Kami sebagai orang Lamongan menjadi selalu mengelus dada dan sport jantung saat Persela berlaga. Laskar Joko Tingkir yang selalu ditunggu pada setiap minggunya menjadi tidak menarik ditonton.

Sepeninggal Choirul Huda, bagi saya, rasanya Persela seperti kehilangan kekeluargaan dari antar pemainnya. Persela tidak lagi menjadi family team seperti yang Cak Huda wariskan kepada tim ini. Budaya nyangkruk, memancing, atau makan-makan antar pemain lama dan pemain baru sudah tidak terlihat lagi di tim ini. Kehangatan ruang ganti dan Mess Persela yang selalu mudah kita pantau sudah tidak terasa lagi. Entah ada apa dengan tim kebanggaan masyarakat Lamongan ini, kita jadi merasa harus pasrah dengan semuanya.

Persela Lamongan musim ini sudah dipastikan untuk degradasi setelah pada beberapa pertandingan terakhirnya justru berakhir semakin tragis. Persela tidak mampu bertahan melawan Liga yang semakin ganas ini. Pertandingan yang terus dilangsungkan di Pulau Bali membuat Persela seperti kepayahan. Mereka yang tidak bisa didukung langsung oleh L.A Mania dan Curva Boys 1967 menjadi bermain ogah-ogahan.

BRI Liga 1 yang berjalan di tengah pandemi Covid-19 ini sungguh teramat berengsek. Persela yang menjadi tidak mendapat pendapatan dari berjualan tiket pertandingan menjadi harus kehilangan pendapatan untuk menghidupi tim ini. Persela seperti dipaksa untuk susah menang dengan seringnya kebobolan di menit akhir. 

Bagi kami, warga Lamongan, kita selalu punya asa dan harapan bahwa Persela Lamongan tidak akan pernah degradasi selama NKRI ini masih berdiri. Tapi apa daya sekarang, Persela yang tidak bisa bermain di kandang dan tidak bisa didukung langsung oleh pendukungnya menjadi susah sekali untuk menang. Melihat Persela yang tidak ada di kasta tertinggi Liga Indonesia besok, sepertinya kita harus siap meski susah. Suudzon kami, selalu ada akal bulus dari penguasa untuk mendegradasikan kami dari dulu, dan usaha ini berhasil dengan cara menjauhkan Persela dari Surajaya-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun