Sebagai negara Agraris Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tak jarang sedari nenek moyang kita telah memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. baik itu untuk di tanami dan memungut hasil alam sebagai ketahan pangan.
Namun, patut kita mensyukuri leluhur kita bisa memadukan antara bertani serta menyelipkan rangkaian ritual di dalamnya. Sebagai buktinya setiap suku yang terdapat di tanah air semua berbalut budaya dan ritual ketika bertani.Â
Pun demikian dalam satu budaya mungkin terdapat perbedaan meskipun tak mencolok. Seperti tradisi bercocok tanam dalam masyarakat suku Gayo.Â
Masyarakat suku Gayo, Biasanya Dalam menentukan kapan di mulai waktu menanam padi di ketua oleh suku adat atau imam gampung atau dalam istilah bahasa Aceh di sebut keujurun blang.
Ketua adat tersebutlah yang memutuskan kapan waktunya bisa turun kesawah setelah melakukaan musyarawah dengan ketua adat kampung lainnya, mereka berpedoman pada hitungan kelender Hijriah dan perkiraan alam. Dan setelah itu mengumumkan hasil musyawarah tersebut kepada para petani.
Lazimnya, setelah di umumkan hasil kesepatan tersebut. Para petani  yang bergabung dalam satu pemukiman atau dua pemukiman dalam satu kecamatan mengadakan acara ritual kenduri.
Nangal. Setidaknya 2 kali dalam setahun.
Di Gayo Lukup Serbejadi, Aceh Timur ketika hendak kemulai musim tanam padi mengadakan tradisi yang sering di lakukan oleh masyaralat yakniNangal kecil biasanya masyarakat melakuan dengan menyembelih ekor kambing dan nangal besar menyembelih kerbau putih.Â
Namun, uniknya sebelum di sembelih kerbau atau kambing tersebut, terlebih dahulu di peusejuk (tepung tawari) kemudian masyarakat membawa atau mengarak keliling kampung kerbau tersebut yang ikut oleh seluruh masyarakat.
Di samping itu ketua adat di ikuti anggotanya mengadakan ritual di petakan sawah memanjatkan doa sembari menyangkul pertama pertanda musim sawah di mulai, Dan acara puncaknya kerbau tersebut di sembelih dan mengadakan acara berdoa bersama.