Bercocok tanam bagi suku Gayo merupakan warisan dari nenek moyang yang hingga saat ini masih tetap di lestari. Meskipun pola bertani secara tradisional sedikit demi sedikit telah beralih seiring berkembangan zaman, pun demikian perubahan tersebut ikut berpindah estapet dari petani tradisional kepada petani modren atau dalam istilah lain di sebut petani melenial.
Cara bertani secara modrent lebih mengandalkan tenaga mesin sebagai ganti tenaga manusia, namun ritual bertani sedari turun terumun hingga saat ini masih relavan dan tetap dijaga kearifan lokalnya.
Ritual bertani dalam tataran adat suku Gayo sangat kentara pada petani sawah dari pada petani ladang atau kebun. Bertani sawah dalam suku gayo Banyak terdapat ritual atau kenduri baik itu acara ritual dilakukan secara kelompok maupun individu. Tujuan sederhananya untuk mencari keberkahan, keselamatan dari hama tanaman dan hasil yang berlimbah sekaligus acara di silaturahmi antara sesama petani.
Berikut merupakan kenduri kesawah bagi adat suku gayo.
1. kenduri ulu naih (kenduri di lokasi sumber mata air).
Kenduri ini di laksanakan pada saat mau turun kesawah di mana para petani melaksanakan kenduri di hulu sungai atau sumber mata air (irigasi) secara bersama sama. Baru setelah itu di laksanakan gotong royang membersihkan saluran irigasi ke sawah sawah masyarakat.
2. Kenduri nyangkul
Kenduri ini di lakukan masing masing individu dengan melaksanakan kenduri di sawahnya dan berdoa, tujuannya supaya dalam proses menyiapkan lahan tak terkendala dan selamat dari ancaman bahaya.
3. Mulut ninih (Maulid bibit)
Kenduri ini biasanya di lakukan di mushola desa setempat,dimana para petani membawa bibit masing masing ke acara tersebut sedikit sedikit. bibit yang bawa tersebut ikut di doakan pada acara zikir maulid nabi dan acara kenduri tersebut.
4. Kenduri longom