Mohon tunggu...
Ismail  M  Sangadji
Ismail M Sangadji Mohon Tunggu... Dosen - DIGITAL

MAJU BERSAMA ILMU DAN KETULUSAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Perjalanan Konflik Agraria di Era Orde Baru dan Berlanjut pada Era Reformasi

6 September 2018   17:44 Diperbarui: 6 September 2018   17:54 1492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sisi lain upaya untuk  memanfaatkannya secara optimal masih terkendala akibat tidak jelasnya peran masyarakat dan hak properti.  Padahal hak properti yang jelas menjadi faktor penting bagi semua pihak, termasuk masyarakat dan keluarga  sebagai unit terkecil, untuk mengelola sumberdaya secara lebih baik.

Pertambahan jumlah penduduk,  baik  angka  kelahiran atau masuknya pendatang di suatu daerah  menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kebutuhan atas lahan sebagai sumber penghidupan.  Ketika lahan tidak cukup lagi untuk dibagi dan  memenuhi kebutuhan hidup mendasar, maka  seorang aktor akan mencari lahan lain untuk  memenuhi kekurangan tersebut. Akibatnya, lahan  baru dibuka demi memperluas lahan pertanian. 

Pembukaan lahan tidak hanya terjadi di sekitar  wilayah desa, namun meluas hingga areal hutan  di sekitarnya yang dalam banyak kasus melahirkan konflik lahan. Secara mendasar,  masyarakat  memandang pentingnya kepastian lahan sebagai  kebutuhan atas hak pengelolaan sumber daya alam.

Penjelasan di atas menunjukan adanya perubahan yang  berpengaruh sejalan dengan sistem agraria di Maluku, khususnya untuk wilayah pulau Ambon dan Pulau-pulau lease yang  membedakan sistem penguasaan lahan pada tiga struktur kepemilikan tanah, yakni: (1) tanah yang dimiliki oleh negeri yaitu tanah negeri; serta (2) tanah yang dimiliki oleh marga / klan dan sub-klan yaitu tanah dati; serta (3) tanah yang dimiliki oleh sebuah keluarga dan dapat diwariskan secara turun temurun kepada individu (hak kepemilikan individual), yaitu tanah pusaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun