Aku yakin semua orang suka berwisata atau travelling! Tetapi tidak semua orang pandai memilih cara untuk bisa menikmati indahnya alam dengan sensasi yang berbeda.
Namun, bagi sebagian orang berprasangka bahwa untuk berwisata menikmati indahnya alam dengan sensasi yang beda harus mengeluarkan biaya yang mahal. Itu tidak berlaku bila kita berani menyusuri indahnya alam di Lau Mentar, Deli Serdang, Sumatera Utara. Sebuah desa yang luput dari cerita bibir, tapi disini anda akan menemukan banyak ke “asyik”an dan membuatmu malas beranjak darinya.
*************
Seperti apa lengkapnya cerita serunya ber-sepeda ke Lau Mentar Canyon-Deli Serdang ? Cekidot!!
Memang pemula, tapi kami yang pertama,
Jam sudah diangka 10, start dari desa Durian Tinggung, jalan mulus beraspal sangat membuat semangat kami memuncah untuk membuat tarikan pedal kami laju kencang menyusuri turunan yang indah. Hanya hitungan menit, kami sampai di satu jembatan yang membuat anda bisa menikmati panorama indah, pepohonan hijau, jembatan gantung yang sudah tak digunakan oleh penduduk kampung untuk menyeberangi bukit dengan jurang dan sungai dibawah setinggi ratusan meter. Panorama ini membuat otakku langsung menerawang betapa asrinya kehidupan kampung disini.
Baru sebentar menikmati indahnya alam, petualangan pun dimulai dengan trek menanjak, mengayuh pedal dengan sekuat tenaga untuk melewati tanjakan memaksa jantung memompa darah dengan cepat, tarikan nafas lebih besar. Wuiiih, serunya petualangan sudah terasa sesaat melewati titik start. Indahnya lahan pertanian dan kebun pisang mengalahkan perjuangan mengayuh tanjakan. Didepan kami menjumpai pemukiman penduduk, perkiraan kami 100% mereka adalah suku karo. Keramahan tampak terasa, saat anak-anak lari kepinggir jalan dan menyapa kami dengan “hei… lereng balap” dengan dialeg karo yang khas. Sontak kami pun menyapa anaka-anak sambil terus melanjutkan perjalanan.
Trek menantang dimulai,
Kampung pertama sudah terlewati, trek tanjakan dan turunan berbatu pertama dimulai, dan jalan tanah sampai ke titik tujuan. 3 jam melewati jalannan berbatu, mendaki dan menurun ini adalah kenangan indah, mahal dan tak terlupakan. Saat menemukan puncak bukit “panatapan” dengan ketinggian lebih dari 700 diatas permukaan laut, pandangan kami bisa menjangkai jauh perkampungan, hutan dan lading-ladang penduduk dari ketinggi ini. Disinilah tempat mengabadikan perjalanan dengan berfoto ria bersama tim dan tentu nya “selfie” yang paling penting, hahahahaaaaa. Tapi sayang dipuncak ini kami belum menemukan signal handphone sehingga tak bisa langsung upload foto untuk eksis di media social.
Ditemani pemandu local, perjalanan dilanjutkan menuju desa Liang tujuan kami. Sedikitnya 2 bukit kami lewati ternyata tujuan belum sampai, sebagian perbekalan minum hampir habis di beberapa orang pemula ini. Tapi surprise… sungai jernih, dingin dn segar ada di depan mata, disini kami minum sepuasnya melepas dahaga, mengeringkan peluh, cuci muka adalah syarat minimal untuk menikmati kesejukan sungai disini. Tinggal 1 bukit lagi kita akan sampai ke lau mentar, tutur pemandu local memberi semangat kami. Sontak seolah ada minuman energizer yang disajikan, kaki-kaki kami kembali kuat mengayuh pedal mendaki trak menanjak.
Kepulan asap kecil dibalik bukit t
Kampung bersejarah, indah nan ramah,
Melahap ikan mas bakar dengan sambal khas karo itu adalah super kenikmatan tak terhingga merupakan menu makan siang yang tidak dilewatkan di kampung Liang, apalagi dibarengi keramahan penduduk asli kalak karo. Cerita punya cerita,ternyata kampung Liang adalah induk dari sejarah kecamatan STM Hulu dan Hilir, “STM itu apa bapak?” Tanya kami, ternyata STM itu adalah singkatan dari “Sinembah Tanjung Muda”, dari namanya saja kampung ini punya kedekatan sejara dengan Kesultanan Deli, konon kampung ini merupakan kawasan kesultanan deli yang dikelola dan didiami oleh penduduk bersuku karo. Tidak sebatas itu, sejarah perjuangan kemerdekaan indah terukir disini, dengan mudah anda akan menemukan monument tugu juang 45 berdiri kokoh ditengah kampung sebagai bukti bahwa dahulu masyarakat kampung bersama para pejuang bergerilya melawan penjajah Belanda. Hhmmm…., tak sekedar panorama alam yang bisa kami nikmati tenyata disini juga tempatnya wisata sejarah.
Surya mulai bergerak ke arah peraduan, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan pulang ke titik start. Dengan mengambil track berbeda, tim memutar mengeliling perbukitan seberang, melawati jembatan bambu, mengayuh dipinggiran ladang yang baru dibuka oleh petani, menjad pesona tersendiri perjanalan kembali. Hinggi senja, dan surya bersembunyi dibalik mega merah, akhirnya kami menyelesaikan petualangan di Lau Mentar ini.
Sekali lagi kami katakan, “memang masih pemula, tapi kami yang pertama” mengalahkan track panjang Lau Mentar dengan mengayuh sepeda lebih dari 6 jam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H