Mohon tunggu...
Ismail Nasar
Ismail Nasar Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar, Politisi

politik dan sosial, pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kudeta Nafsu Strategi Pendidikan Melawan Tirani kekuasaan dan Represi Hasrat

2 Desember 2024   08:07 Diperbarui: 2 Desember 2024   08:40 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan telah berkembang dari sekadar institusi transfer pengetahuan menjadi medan pertarungan simbolik yang rumit antara kuasa, hasrat, dan kesadaran manusia dalam kompleksitas hubungan epistemologis modern. Setiap ruang pendidikan sesungguhnya adalah tempat di mana kekuasaan mempertahankan dominasinya dengan mengatur kesadaran melalui mekanisme yang rumit dan memasukkan siswa ke dalam struktur normatif yang disusun secara sistematis. 

Genealogi kekuasan di bidang pendidikan menunjukkan bahwa setiap metode pendidikan memiliki teknologi sosial canggih yang digunakan untuk mengontrol fisik dan mental. Kurikulum, metode pengajaran, dan desain ruang kelas bukanlah satu entitas yang sama. Sebaliknya, mereka adalah alat strategis yang mendorong kepatuhan dan membentuk individu sesuai dengan rezim pengetahuan yang dominan.

Menurut Michel Foucault, genealogi bukanlah pencarian linier atau deterministik tentang asal-usul hubungan kekuasaan. Faktanya, ia tertarik pada bentuk-bentuk kekuasaan yang lebih tenang dan samar. 

Pelaksanaan kekuasaan yang sebenarnya bukan hanya hukum atau hanya kekuatan, melainkan kombinasi dari pengetahuan, norma sosial, dan pengaturan diri yang memerlukan sedikit usaha sehingga terasa agak alami bagi kita. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya menekan, tetapi juga menghasilkan subjektivitas sosial baru, yang berkontribusi pada pemeliharaan kekuasaan.

Genealogi kekuasaan berusaha untuk menjelaskan perolehan, pemeliharaan, dan praktik kekuasaan melalui struktur-struktur kompleks dan tersembunyi di luar wajah negara misalnya, di tempat-tempat seperti pendidikan, media, institusi kesehatan, dan bidang sosio-politik umum. 

Dalam hal ini, genealogi meminta untuk melihat lebih dekat bagaimana orang atau kelompok berubah menjadi sesuatu atau subjek-subjek kekuasaan dan bagaimana mereka mungkin terjebak dalam tubuh yang memungkinkan mereka menjadi bagian dari kekuasaan.

Memahami dinamika kontrol sosial terhadap hasrat manusia dikaitkan dengan teori konflik libido dan genealogi kekuasan. Michel Foucault mendefinisikan genealogi kekuasaan sebagai berikut: kekuasaan tidak hanya menekan melalui hukum dan peraturan, tetapi juga menghasilkan norma-norma sosial; norma-norma memiliki variasi yang berubah-ubah yang kadang-kadang sepenuhnya mewakili perilaku tertentu. 

Kekuasaan bukan hanya kekuatan yang menindas, tetapi sesuatu yang mengorganisir dan memproduksi subjektivitas individu.Foucault menggambarkan bahwa dorongan seksual sebenarnya adalah sebuah konstruksi sosial yang dibentuk melalui wacana kekuasaan yang dirancang untuk menstabilkan, mempertahankan, dan mengendalikan stabilitas dan ketertiban sosial tertentu---bukan merupakan masalah biologis atau pribadi.

Teori konflik libido, yang diciptakan oleh Sigmund Freud, melengkapi analisis ini dengan menekankan ketegangan dalam diri seseorang antara dorongan naluriah (id) dan kendali eksternal (superego), yang diinternalisasi dari norma sosial. Konflik ini menunjukkan perselisihan antara kebebasan hasrat manusia dan kebutuhan masyarakat untuk mengikuti norma dan prinsip yang ditetapkan oleh komunitas. 

Dalam perspektif ini, genealogi kekuasaan membantu menjelaskan bagaimana norma sosial dibentuk untuk merepresi libido. Di sisi lain, teori konflik libido menggambarkan dampak libido pada individu sebagai ketegangan psikologis. Dengan menggabungkan kedua gagasan ini, kita dapat memahami bagaimana kekuasaan sosial mengontrol hasrat manusia, baik secara eksternal melalui kontrol sosial maupun secara internal melalui konflik internal.

Bentuk penindasan lain yang sering tidak disadari adalah menekan keinginan atau dorongan individu. Berbagai dorongan tersebut termasuk keinginan untuk mencipta, intelektual, atau sosial. Dalam banyak sistem pendidikan, dorongan-dorongan ini sering ditekan atau bahkan dihilangkan untuk memastikan bahwa individu lebih patuh terhadap standar yang ada. 

Dorongan untuk ingin tahu ini sering ditekan melalui rekayasa sosial, yang mengharuskan seseorang untuk mematuhi standar masyarakat atau bahkan melarang perubahan apa pun yang dapat mengancam keadaan saat ini.

Tipe penekanan ini terjadi melalui kurikulum yang normatif dan kaku serta praktik pendidikan yang lebih halus, seperti penilaian terhadap ekspresi pribadi seseorang atau pemikiran kritis, yang merupakan komponen yang harus dipelajari dalam penelitian pendidikan. Ketika kreativitas dan keinginan individu ditekan, dia tidak hanya kehilangan kebebasan untuk berkomunikasi tetapi juga kebebasan untuk berpikir kritis dan inovatif.

 Karena orang cenderung menginternalisasi perspektif dunia yang terbatas dan miskin, hal ini menyebabkan stagnasi dalam kemajuan intelektual dan sosial. Penekanan keinginan melibatkan struktur kekuasaan yang lebih besar yang bekerja untuk mempertahankan kontrol atas individu dan masyarakat terlepas dari keterbatasan fisik atau psikologis.

Penekanan ini sering dilakukan untuk mempertahankan jenis kekuasaan tertentu, baik itu ideologis, ekonomi, atau politik. Keinginan dan aspirasi pribadi dianggap sebagai ancaman bagi tatanan sosial yang telah mapan, dan sistem pendidikan saat ini sering digunakan sebagai instrumen legitimasi kekuasaan ini. 

Oleh karena itu, sangat penting untuk menyediakan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan individu sehingga mereka tidak hanya dapat mengidentifikasi dan memahami keinginan mereka tetapi juga mengekspresikannya dengan bebas tanpa takut akan penindasan atau hukuman. Dalam situasi seperti ini, pendidikan yang dapat melawan "tirani kekuasaan" dan "penekanan hasrat" sangat penting.

Pendidikan yang menawarkan kebebasan berpikir, keberanian untuk mempertanyakan keadaan saat ini, dan kemampuan untuk mengelola keinginan seseorang secara konstruktif dapat menjadi sangat penting untuk membuat orang lebih kritis, berpikir kritis, dan berdedikasi untuk perubahan sosial. 

Mendidik orang seperti ini tidak hanya memberi mereka informasi untuk memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja atau masyarakat tetapi juga memberikan mereka sumber daya untuk melawan ketidaksetaraan dan ketidakadilan saat ini serta membangun masyarakat yang lebih beradab.

Melalui kudeta Nafsu, pendekatan pendidikan ini bukan hanya cara untuk melawan kekuatan yang datang dari dunia luar tetapi juga membantu anak-anak keluar dari belenggu yang mengikat mereka pada kebiasaan yang tidak relevan dan sangat sulit diubah. 

Dalam situasi ini, pendidikan harus menjadi tempat di mana orang dapat mengeksplorasi diri mereka, memaksimalkan potensi mereka, dan secara aktif terlibat dalam mentransformasi dunia. 

Langkah pertama menuju pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan memuaskan adalah meningkatkan kesadaran kritis tentang penekanan keinginan yang telah lama ada. Kudeta nafsu" pada dasarnya  adalah sebuah revolusi epistemologis atau aspek yang sangat mendalam dari upaya intelektual untuk melepaskan manusia dari belenggu kekuasaan yang telah mengganggu kesadaran manusia.

" Prodi ILmu Pendidikan UNdiksha"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun