Mohon tunggu...
Ismail Fahmi
Ismail Fahmi Mohon Tunggu... -

a spare timer photographer, a part timer movie maker, a free timer writer, a full timer husband and father

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mulianya Ibu Rumah Tangga

13 April 2012   08:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dari panggung politik AS ke rumah sendiri Elok sekali melihat panggung politik dan wajah demokrasi Amerika Serikat. Di tengah persaingan menuju kursi presiden AS periode mendatang, Obama ‘membela’ calon rival politiknya dari Partai Republik dalam perebutan kursi Presiden mendatang, Mitt Romney. Apa pasal? foto dari www.abconline.com Rabu, (11/04), salah satu anggota tim strategi Partai Demokrat, Hillary Rosen, menyebut istri Mitt Romney, Ann Romney, sebagai calon ibu presiden yang tidak pernah bekerja satu hari pun dalam hidupnya. Belakangan, Rosen meminta maaf atas pernyataannya tersebut.

Hillary Rosen (foto dari www.qeerty.com)
Ann Romney bersama suami (foto dari www.amny.com) Obama gerah dengan pernyataan rekan satu partainya tersebut. Seakan membantah pernyataan rekannya, Obama menegaskan bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih berat daripada menjadi seorang ibu rumah tangga. Pernyataan Obama tersebut tidak hanya menggambarkan keelokan panggung politik dan demokrasi AS. Namun juga menunjukkan bahwa persaingan politik tidak melulu sebatas manuver untuk memperebutkan kekuasaan. Jauh di balik itu, politik sebenarnya memperjuangkan nilai-nilai kehidupan yang mendasar. Dalam kasus ini, nilai itu adalah bahwa ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan 'rendahan'. Dan karenanya, mereka yang memilih untuk tidak berkarir/bekerja demi mengurus rumah tangga, sangat pantas untuk dihargai. Istri Obama, Michelle, dalam salah satu post twitter-nya pun menegaskan,” Every mother works hard, and every woman deserves to be respected." Peristiwa di AS sana sebetulnya juga menyentuh kehidupan kebanyakan orang di Indonesia saat ini. Termasuk saya. Sejak akhir Februari tahun ini, kami tidak lagi dibantu oleh seorang asisten rumah tangga. Karena itu, pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menyetrika baju, menyapu dan mengepel lantai dan lainnya harus kami sendiri yang kerjakan. Praktis, ketika saya bekerja, istri saya ‘hanya’ ditemani seorang bayi berusia satu tahunan. Tentu semua mafhum, bahwa di usia itu, anak kami masih sangat bergantung kepada orang tuanya. Apalagi, istri saya berkomitmen untuk terus memberikan ASI ekslusif hingga tuntas. Para ibu rumah tangga paham betul, betapa tidak mudahnya mengurus bayi dan memberikan ASI ekslusif sambil menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, tanpa suami dan asisten rumah tangga. Satu waktu, saya bertanya ke istri saya, bagaimana dia mencuci setumpukan piring di dapur. (Sebagai informasi, kami tinggal di rumah dengan dua lantai. Kamar kami di lantai dua. Sementara dapur di lantai bawah). Kata istri saya, dia mencuci piring sambil menggendong si bayi (yang saat ini sudah sekitar 10 kg bobotnya). Untuk mandi dan menunaikan (maaf) ‘panggilan alam’ pun ada kalanya istri terpaksa membuka pintu kamar mandi agar bisa lebih mudah memantau si kecil. Bahkan, ada kalanya istri terpaksa menyusui anak sambil memenuhi (maaf lagi) ‘panggilan alam’. Betul-betul tidak mudah. Karena semua itulah saya berjanji pada diri sendiri untuk berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menuntaskan beberapa pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat ke kantor. Paling tidak dengan begitu, istri saya dapat lebih berkonsentrasi penuh untuk mengurus si kecil. Menjadi ibu rumah tangga merupakan pilihannya. Bukan karena dia ‘belum/tidak laku’ di dunia kerja. Sebelum menikah dengan saya, ia sempat bekerja di beberapa perusahaan cukup besar dengan pendapatan yang relatif lumayan. Ia memilih untuk tidak berkarir lagi karena satu alasan, ingin fokus mendidik dan mengurus anak (dan suami juga tentunya). Keputusan itu pun tidak ada campur tangan saya sebagai suami. Saya memberikan kebebasan baginya untuk bekerja dan/atau tidak bekerja. Karena saya yakin, istri sudah sangat cerdas dan dewasa untuk mengambil keputusan yang menurutnya terbaik buat keluarga. Lalu, ada yang bertanya, “untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya menjadi ibu rumah tangga?” Istri saya, satu waktu, menjawab pertanyaan itu,”justru perempuan perlu sekolah tinggi-tinggi supaya bisa menjadi ibu yang baik.” Bagaimanapun, saya tetap menghormati pilihan mereka (para ibu) yang memilih untuk bekerja. Pasti mereka punya alasan kuat masing-masing. Bahkan, saya sangat kagum dengan para ibu yang dapat sukses berkarir sekaligus berhasil mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Saya faham, selain mengurus pekerjaan rutin rumah tangga, mendidik dan mengurus anak sudah jauh lebih melelahkan ketimbang pekerjaan kantor yang saya jalani selama ini. Karena itulah saya yakin, bahwa ibu rumah tangga betul-betul pekerjaan yang sangat mulia.
Sholat "dikawal" anak (03/03/2012).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun