Mohon tunggu...
Ismail Elfash
Ismail Elfash Mohon Tunggu... wirusaha -

orang biasa yang sedang belajar menulis, mengungkapkan isi hati dan sekedar berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman Membangun Rumah 100 M dengan Dana 40jt

2 Januari 2017   22:46 Diperbarui: 2 Januari 2017   23:09 24454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 04 Desember 2016, alhamdulillah sudah melepas status sebagai kontaktor alias pengontrak rumah yang kotor. Setelah hampir 10 tahun menikah dan tinggal di Jakarta baru kesampaian memiliki rumah sendiri. Sebagaimana petuah ekstrim bapak saya yang selalu jadi penyemangat, katanya "kalau sudah 10 tahun hidup di kota (Jakarta) tidak juga memiliki rumah, lebih baik pulang kampung saja. Itu pertanda hidup yang susah dan ke depannya akan lebih susah". Hari itu, Sabtu 04 Desember 2016, menjadi hari bersejarah bagi saya dan keluarga, dimana saya bisa memiliki rumah sendiri. 

Ya rumah. Mungkin bagi sebagian orang biasa-biasa saja, tapi tidak bagi saya. Rumah adalah simbol perjuangan saya menaklukan kemiskinan, sebuah eksistensi penghargaan buat kerja keras saya dan istri juga semangat dari anak-anak. Dari yang awalnya berangkat ke Jakarta tidak bawa apa-apa, sampai memiliki rumah yang bernilai ratusan juta rupiah, jelas ada sebuah kepuasan bahwa kerja keras selama ini membuahkan hasil. Semoga rumah ini, membawa keberkahan, dan awal dari kesuksesan yang akan datang.

Imah (rumah) dalam bahasa sunda berarti iman. Orang yang mempunyai rumah berarti mempunyai iman. Begitu kata filosofi orang tua terdahulu, yang saya ingat ketika memberi wejangan. Bisa difahami bahwa dengan kepemilikan rumah, seseorang bisa dikatakan sudah mapan. Ingat pelajaran kelas 4 SD, sandang= pakaian, pangan=makanan dan papan=rumah. Tidak salah, karena memang memiliki rumah sendiri memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Beda dengan membeli mobil, prosesnya mudah dan bisa langsung dipakai. Sedangkan membangun rumah, banyak halangan dan rintangan. Maka bagi siapapun yang akan membangun rumah, harus siap bukan cuma dana, melainkan mental baja, untuk bisa mewujudkannya. 

Bagi anda yang akan atau baru berumah tangga, jangan lupa bahwa rumah tangga artinya, memiliki rumah yang ada tangganya. Paling tidak rumah berlantai dua. Membangun rumah tangga berati membangun (memiliki) rumah secara fisik, maupun membangun relasi sebagaimana suasana di dalam rumah (aman, damai, tentram, bahagia) bila diartikan secara psikis. Rumah harus menjadi prioritas, walaupun menurut survey property bahwa 60% dari generasi milenial kesulitan untuk mempunyai rumah. Karena gaji mereka yang tidak cukup, atau karena prioritas mereka yang salah. Dimana gaya hidup menjadi tujuan utama, sementara mereka abai untuk memiliki rumah. Sehingga penghasilannya tidak pernah cukup untuk membeli rumah.

Setelah saya membeli tanah seluas 100 M di Pondok Aren, saya selalu bilang ke orang tua dan orang-orang yang saya kenal, saya akan membangun rumah. Orang tua saya tidak percaya, dan sahabat-sahabat saya juga meragukannya, dalam fikirannya mungkin berkata, "ah, punya uang dari mana??". Ya, emang saya gak punya uang. Tapi kan, bilang saya mau bangun rumah, gak harus pakai uang, benar kan?? Modalnya cuma mulut doang, mangap, haha... Lagian inilah strategi gila saya.

 Jika saya akan atau ingin melakukan sesuatu, saya selalu bilang-bilang dulu ke banyak orang. Tujuannya apa? Biar saya malu sama orang lain bila ditanyakan, "bagimana rumahnya?", "kapan bangun rumahnya?". Tujuannya apa, saya dapat kontrol gratis dari orang-orang yang setia menanyakan tujuan atau rencana  saya, tanpa harus membayar mereka. Saya akan selalu diingatkan dengan apa yang telah saya ceritakan, akhirnya saya akan malu bila saya tidak mewujudkannya. Nah, dan ini terjadi pada diri saya. Biarin aja orang bilang, "ngomong diduluin, buktiin aja dulu, baru ngomong!" Bagi saya tidak demikian tapi dibalik logikanya, dengan ngomong duluan, berarti sedang menyemai harapan dan berjalan kearah tujuan. Disamping itu ada kontrol dari orang lain. Ilmu ini saya dapatkan dari seminar bersama Alm. Bob Sadino.

Sebelum mebangun rumah, saya tanya kepada orang tua yang saya kenal didaerah sana, bagaimana "kulo nuwun nya", biar pembangunan lancar dan aman. Saya dikenalkan pada pak rt sekaligus pak haji sekaligus juga preman sana. Apa yang terjadi? Dia minta uang keamanan 5jt. Hah... 5jt?? Kaget saya, dikira bisa dengan 1jt. Lah.. untuk numpang permisi lewat mobil proyek bawa material bangunan doang. Katanya 5jt murah, orang-orang mah dimintain 7jt. Saya nawar minta kurang, tapi tetap tidak bisa, tetap 5jt. Katanya buat bagi-bagi jatah FBR, Karang Taruna, Mushola, dan lain-lain. Pokoknya dijamin aman, kalau sudah bayar 5jt. 

Akhirnya dengan terpaksa saya bayar juga. Setelah saya selidik, ternyata uang segitu buat dia sendiri dan dimakan sendirian. Amankah, setelah memberi japrem alias jatah premannya? Ah, tidak juga.  Buktinya anak-anak FBR tetap ada yang datang minta jatah, belum lagi kalau material datang dimintain juga uang jalan. Bahkan saya dengar ditetangga kampung sebelah, kalau jatah preman nya kurang, bisa-bisa pasangan batu bata pun dirobohkan, atau material bahan bangunan banyak yang hilang. 

Modal awal saya untuk membangun rumah, cuma 40jt! Saya niatkan, yang penting saya memulai membangun rumah. Sampai dimana saja,  sekaligus men-challence kemampuan saya. Saya niatkan dengan uang 40 jt sampai dimana saja. Maka saya cari tukang dan keneknya dari kampung yang masih sodara. Maksudnya biar tidak malu bila harus berhenti karena kehabisan dana. Sebelum mulai membangun, saya sudah ngobrol ke si engkoh pemilik toko material yang sudah saya kenal. "Koh, saya mau bangun rumah, tapi uangnya terbatas. Bisa gak kalau kurang dana material ngutang dulu?", "boleh" kata si engkohnya. Alhamdulillah... ada juga yang percaya saya, batin saya bergumam.

Pembangunanpun dimulai dari pondasi. Uang sudah mulai keluar dengan deras. Saya merasa beruntung tukangnya tidak minta gajian mingguan, tapi kalau dia butuh uang buat ngirim keluarganya di kampung baru minta uang. Dan si engkoh selalu nantangin, butuh apalagi.. barang mau dikirim. Subhanalloh! inilah kemudahan dari Alloh yang saya dapatkan. Dari pondasi, pasang hebel, pasang kusen, dan sampai juga pada pengecoran lantai (ngedak). Akhirnya dengan modal cuma 40jt berdirilah sebuah bangunan rumah. 

Dan setelah selesai lantai satu sampai finishing,  saya hitung-hitung biaya menghabiskan sekitar Rp 200jt an lebih. Dari mana uang segitu saya dapatkan?? Inilah keajaiban membangun rumah. Ternyata selalu ada jalan yang memudahkan. Ada teman yang nitip (minjemin) uang, ada bos matrial yang bisa ngutang dulu, ada tukang yang bisa dibayar tempo, ada saudara yang nambahin, ada orang tua yang bantuin, dan lain-lain. Semuanya saya alamin dan terjadi pada saya.

However, kini rumah sudah jadi dan sudah saya tempati. Cerita tentang hutang, tentang kehabisan dana, tentang cashflow usaha yang terganggu, biarlah semuanya menjadi kenangan, kisah "indah" membangun rumah. Percayalah, kalau mau membangun rumah tidak harus menunggu total dana terkumpul. Mulai saja, nanti akan menemukan jalan dan kemudahan.

Good Night, Happy New Year!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun