Mohon tunggu...
Ismail Amin
Ismail Amin Mohon Tunggu... -

Warga Indonesia sementara menetap di kota Qom Republik Islam Iran, sembari belajar di Universitas Internasional al Mustafa Qom Iran... salam perkenalan, dan mari saling berbagi... Kita tidak selalu harus berpikir sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Syahid Muthahari dan Ki Hadjar Dewantara

2 Mei 2015   11:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap tanggal 12 Urdibehest [bulan kedua dalam penanggalan kalender Hijriah Syamsi] di Iran diperingati secara nasional sebagai hari guru. Penetapan hari guru ini untuk mengenang kesyahidan Ayatullah Murtadha Muthahari pada tanggal 12 Urdibehest tahun 1358 HS [bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1979] yang terbunuh di tangan kelompok anti Revolusi.

Ayatullah Muthahari adalah seorang ulama besar Iran yang bukan hanya mengajar di Hauzah Ilmiah [sejenis pesantren yang khusus untuk mengkaji ilmu-ilmu agama] namun juga mengajar di Universitas-universitas ternama di Teheran.

Beliau diantara sedikit ulama saat itu yang bisa memadukan ilmu-ilmu hauzah dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang diajarkannya di Universitas. Karya-karyanya sangat beragam yang meliputi banyak bidang, baik teologi, tasawuf, filsafat, logika, fiqh, politik, pendidikan, akhlak dan ilmu-ilmu sosial, yang kesemuanya mendapat sambutan luas masyarakat, bahkan sampai sekarang masih terus dicetak ulang tanpa kehilangan aktualitasnya.

Pada tahun 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, danfiqhdi Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang diasuhnya: kuliahfiqh, kuliahAl-Ushul,kuliahIlmu Kalam,kuliahAl-Irfan(Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah Filsafat.

Kecemerlangan otak dan keluasan ilmunya, serta jabatan-jabatan penting yang dipegangnya semestinya dapat memberikan kehidupan yang nyaman dan mapan untuknya. Namun Ayatullah Muthahari malah memilih badai daripada damai. Sebagai ulama dan muballigh Islam, ia aktif berdakwah. Tidak jarang, khutbahnya di radio-radio Tehran memerahkan telinga rezim Syah saat itu. Sebagai murid Ayatullah Khomenei, ia juga terlibat dalam pergerakan politik untuk menjatuhkan rezim Syah Pahlevi.

Pada tahun 1963 ia ditahan bersama Imam Khomeini. Saat sang guru diasingkan ke Turki, ia yang menggerakkan para ulama mujahidin untuk terus melakukan penentangan terhadap kezaliman rezim Pahlevi. Masjid Al-Jawad yang ia menjadi imam masjidnya, tidak hanya dijadikannya sebagai tempat ibadah an-sich, namun juga menjadi pusat gerakan politik Islam. Dianggap mengganggu stabilitas Negara, pada tahun 1972 Masjid Al-Jawad dilarang secara politik oleh rezim Syah dan kembali Ayatullah Muthahhari dijebloskan ke Penjara. Berkali-kali dipenjara, tidak mengubah pendirian dan arah perjuangannya. Setelah bebas, ia kembali melanjutkan aktivitas politiknya. Pada akhirnya tahun 1978, rezim Syah melarang total semua kuliah dan khutbahnya.

Keaktifannya di berbagai organisasi politik seperti Husyainiya-yi Irsyad dan Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz membuatnya diangkat sebagai ketua Dewan Revolusi Islam oleh Imam Khomeini yang saat itu masih berada dalam pengasingannya di Paris, pada tanggal 12 Januari 1979. Revolusi Islam Iran meledak tanggal 11 Februari 1979 dibawah pimpinan Imam Khomeini, dan Ayatullah Muthahari tetap memegang jabatannya sebagai ketua Dewan Revolusi Islam pasca Republik Islam Iran berdiri.

Hanya peluru yang kemudian berhasil menghentikan aktivitasnya. Tanggal 1 Mei 1979, Ia dibunuh oleh kelompok Furqan yang anti Revolusi. Sepulang dari memimpin rapat Dewan Revolusi Islam,  ia diterjang sebuah peluru yang menembus bagian atas kelompak matanya dan bersarang dikepalanya. Pada keesokan harinya 2 Mei 1979, masyarakat Iran membanjiri upacara pemakamannya di areal Haram Sayyidah Maksumah di kota Qom. Mereka berdatangan dengan berpakaian serba hitam sembari membawa setangkai bunga yang kemudian menumpuk di atas pusaranya. Sekolah-sekolah, hauzah, universitas dan lembaga-lembaga penelitian diseluruh penjuru Iran pada hari itu diliburkan, semuanya larut dalam kedukaan atas wafatnya sang guru bangsa.

Hari itu juga oleh Imam Khomeini, 12 Urdibehest atau tepatnya 2 Mei ditetapkan sebagai hari guru nasional. Ayatullah Syahid Muthahari mewakili sosok guru yang sejati, ia belajar, mengajar dan berjuang sampai mencapai kesyahidan.

Selanjutnya, di Iran setiap hari guru tiba, murid-murid sekolah hari itu membawa setangkai bunga atau kado untuk diberikan kepada guru-gurunya. Guru sangat dimuliakan dan diistimewakan di Iran. Bahkan menjadi profesi yang favorit. Rakyat Iran memandang tanpa peran guru, generasi muda bangsa tidak akan mendapat pendidikan yang memadai untuk melanjutkan estafet pembangunan bangsa. Imam Khomeini rahimahullah berkata, peran guru tidak ubahnya peran para Anbiyah As.

Menariknya pada hari yang sama yaitu 2 Mei, di Indonesia diperingati Hari Pendidikan Nasional. Kalau di Iran, untuk mengenang jasa besar Ayatullah Syahid Muthahari pada dunia pendidikan Iran dengan menjadikan hari kesyahidannya sebagai hari guru, di Indonesia hari kelahiran tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari Pendidikan Nasional. Sama halnya Ayatullah Muthahari, Ki Hadjar Dewantara, yang dari kalangan priyayi dan keluarga kaya [dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat] memilih meninggalkan kehidupan mapannya untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Karena kekritisan dan kecamannya terhadap kolonialisme Belanda, ia diasingkan ke Belanda. Ia juga dikenal sebagai penulis handal, tulisan-tulisannya tersebar di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.

Tidak ubahnya Ayatullah Muthahari bagi rakyat Iran, Ki Hadjar Dewantara mampu membangkitkan semangat anti kolonial rakyatnya melalui tulisan-tulisan dan orasi-orasinya yang patriotik. Jika Ayatullah Muthahari bersama Ali Syariati dan tokoh-tokoh intelektual Islam Iran lainnya mendirikan Husyainiya-yi Irsyad untuk membangkitkan semangat rakyat Iran dalam menghadapi kezaliman rezim Syah saat itu, Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Kalau Ayatullah Muthahari dijebloskan ke penjara karena menentang perayaan mewah memperingati 2500 imperium Persia ditengah-tengah kemiskinan dan kemelaran rakyat Iran, Ki Hajar Dewantara harus mengalami pembuangan ke pulang Bangka karena memprotes perayaan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Kedua  tokoh ini terus dikenang oleh bangsanya karena pengorbanan, perjuangan dan jasa-jasanya yang besar bagi rakyat dan masa depan bangsanya. Keduanya dikenang karena semangat altruisme yang mereka miliki, semangat untuk berguna bagi sebanyak-banyaknya orang, meskipun itu harus meninggalkan kenyamanan sendiri. Sama halnya di Iran, sudah semestinya di Indonesia guru dihargai dan dihormati, lebih dari apa yang telah mereka dapatkan selama ini.

Selamat hari guru dan hari pendidikan nasional.

Ismail Amin, sementara menetap di Iran

[Dimuat di Majalah Itrah, edisi Mei-Juni 2015]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun