Mohon tunggu...
Ismail Alviano
Ismail Alviano Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Fakultas Psikologi

sepenggal tulisan acak dari logika manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nurhadi-Aldo, Bentuk Ekspresi Golongan Muda

14 Januari 2019   00:21 Diperbarui: 14 Januari 2019   00:51 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usaha Parpol dalam membawa nama capres yang diusungnya pada golongan muda terlihat kurang efektif dibandingkan Nurhadi-Aldo.

Belakangan ruang publik diramaikan lewat adanya pasangan fiktif Nurhadi-Aldo. Millenials yang sejatinya menjadi pemilih muda malah lebih melirik pasangan fiktif ini ketimbang pasangan asli. Hal ini lebih karena adanya hal-hal nyeleneh yang ditampilkan pasangan fiktif ini pada publik mulai dari singkatan nama, nama partai, sampai quote-qoute asyik nya.

Munculnya pasangan ini merupakan wujud jenuh masyarakat terhadap perpolitikan yang isinya hanya hoax dan politik pragmatis. Namun fenomena ini oleh beberapa tokoh dianggap dapat menjadi pemicu golput (tidak memilih) dan sikap apatis masyarakat terhadap pasangan capres yang sesugguhnya.

Pengamat politik UIN Jakarta Adi Prayitno berpendapat "Capres fiktif itu bisa dimaknai sebagai kejenuhan politik rakyat, karena suasana pilpres yang tidak konstruktif, mirip-mirip politik abad pertengahan yang menjadikan kelemahan lawan sebagai keuntungan utama elektoral, itu kan kacau, bukan jualan program unggulan tapi malah sibuk buka aib politik lawan"

Adi Prayitno pun mengkhawatirkan adanya pasangan fiktif ini akan menggiring masyarakat pada sikap apatis dan golput. "Capres fiktif itu merupakan parodi politik yang narasinya menyindir dua kandidat yang model kampanyenya tak substansial, tautan opini enggak karuan dan tidak mendidik. Tak heran jika kutipan capres DILDO (Nurhadi-Aldo) itu berbentuk sindiran pedas. Bahkan pesannya dibuat sengaja sulit dipahami publik." kata Adi saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (11/1/2019)

Menjadikan Nurhadi-Aldo sebagai sentral visual dan hilangnya fokus terhadap kompetisi pasangan asli dapat menghidupkan sikap apatis dan perilaku golput. Produk berupa program unggulan yang harusnya menjadi nilai jual pasangan asli kalah laku dengan dagangan Nurhadi-Aldo. Dasar dari hilangnya fokus terhadap pasangan asli adalah banyaknya hoax yang menyebar dan isu-isu negatif terkait pilpres. Akan muncul sikap acuh-tak-acuh terkait pilpres toh dua-duanya; petahana dan oposisi hanya menjatuhkan kubu lawan tanpa ada keunggulan tersendiri

Dalam Wartakota hari ini, Hamdan Zoelva mengatakan "Bisa mengarah ke situ (golput), karena tidak puas karena hanya ada dua pasangan capres. Jadi ini yang jadi capres lucu-lucuan, karena 'ah sudahlah kita lucu-lucuan saja ngapain dua itu' Jadi orang antipati terhadap politik. Ini sebenarnya tidak bagus tapi ini kan suatu kondisi yang tercipta karena pilihan kita memaksakan hanya ada dua calon."

Calon yang hanya dua sebenarnya merupakan buah dari adanya Presidential Treshold. Keputusan MK ini memberikan ambang batas untuk calon presiden berupa 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Hal ini mengakibatkan adanya kesamaan pola pada pilpres 2014 dan 2019, dimana calon presiden adalah Jokowi dan Prabowo.

Pada orang yang tidak puas dengan kepemimpinan Jokwi dan pula tidak sepaham dengan Prabowo, munculnya Nurhadi-Aldo dapat menjadi gerbang sikap golput lewat opini yang dirasa menggiring publik. Mungkin jika tuntutan Rocky Gerung dan 11 pemohon lainnya disepakati oleh MK, pola ini dapat dinegasikan. Akan muncul wajah-wajah baru yang mungkin dapat sesuai dengan harapan masyarakat.

Kendati demikian, jika kita melihat pasangan Nurhadi-Aldo lewat sisi yang berbeda. Fakta bahwa penggagas dan penggerak pasangan fiktif ini adalah golongan muda dapat menjadi bukti bahwa golongan ini sudah mulai melek dan berpatisipasi dalam pesta demokrasi. Gerakan ini merupakan bentuk perlawan terkait penghilangan hoax yang makin hari kian meluas. Juga tuntutan golongan muda pada kubu pasangan calon agar lebih mengedepankan keunggulan lewat program kerja daripada fokus menyerang kekurangan lawan.

Kita harus cerdas dalam menanggapi fenomena Nurhadi-Aldo ini. Bukan sebagai gerbang golput. Lebih dari itu sebagai bentuk ekspresi masyarakat agar lebih teliti lagi dalam menentukan pilihannya dalam pemilu mendatang. Karena tidak bisa dipungkiri Nurhadi-Aldo dapat disalah gunakan dalam bentuk narasi pembangun golput. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun