Razia jalanan merupakan hal lazim dan menjadi alasan bagi mereka yang masih mempertahankan idealisme gondrongnya untuk bermain petak umpet. Fenomena serupa kerap kali dijumpai di tiap razia rambut panjang di sekolah-sekolah, hanya beda skalanya saja.
Pasca orde baru gondrong menjadi hidangan utama bagi mereka yang menginginkannya. Aturan razia gondrong dijalan-jalan sudah tidak diberlakukan. Mengekspresikan diri layaknya aktivis nyentrik bukan lagi jadi masalah. Kendati demikian aturan rambut rapih di sekolah-sekolah mengakar dan menjadi culture yang sulit diubah.
Berpenampilan gondrong memang bukan sebuah dosa tetapi sebaiknya tidak diaplikasikan pada siswa. Aturan rambut berubah arah dari cerminan kepribadian bangsa menjadi nilai estetika dan sikap disiplin.Aturan larangan gondrong di sekolah-sekolah bukan merupakan suatu yang negatif pada masa ini.
Karena nilai dasar pelarangannya sudah berbeda pada masa aturan ini dilahirkan. Penikmat gondrong tidak lagi diidentifikasi manusia negatif. Pembatasan siswa dalam memanjangkan rambut merupakan sebuah nilai positif sekarang. menjadi cerminan siswa yang lebih rapih dan mencerminkan sikap disiplin dari siswa itu sendiri. Bukan lagi menjadi persona siswa yang acuh-tak-acuh, melainkan hanya masalah estetika.
Menurut Nurcholis Madjid jika gondrong bertendensi apatis maka gondrong adalah kemewahan. Mewah dalam arti ada konsekuensi dalam pengambilan keputusan sebagai gondrong. Bersikap apatis memiliki konsekuensinya tersendiri pun memilih berambut gondrong sehingga rambut gondrong dapat dinilai mahal  harganya. Lebih dari itu ada nilai eksentrik terkandung pada para penikmat rambut panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H