Mohon tunggu...
ismail Aji
ismail Aji Mohon Tunggu... Mahasiswa - hope you're enjoy

for everyone

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hakikat dan Hukum Pernikahan

25 Oktober 2021   12:26 Diperbarui: 25 Oktober 2021   12:32 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia adalah makhluk yang mulia karena di karuniai akal pikiran. Dalam hidup manusia terdapat beberapa hal yang menjadi bagian dari proses berjalannya kehidupan, di dalam proses tersebut terdapat pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kita sebagai manusia dalam memandang proses pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral dalam ajaran agama. Sehingga untuk menjalankannya membutuhkan tanggung jawab dan komitmen. Manusia juga adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, maka dari itu rasanya setiap manusia memang diharuskan untuk menikah, karena hidup ini tidak bisa dilalui oleh seorang diri, kita membutuhkan pasangan hidup yang akan menemani kita sampai hari tua sekaligus memperbanyak keturunan.

Di Negara Indonesia terdapat 6 agama yang mendapat pengakuan, yakni agama Islam, Kristen Protestan, Khatolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Setiap pernikahan harus selalu berhubungan dengan aturan atau ketentuan dengan hukum agama. Disini fokus kita adalah tentang pernikahan beda agama, apakah boleh dilakukan di Indonesia atau tidak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya".

Jika kita menganalisis isi dari pasal tersebut, maka bisa dikatakan bahwa untuk masalah perkawinan, semuanya diserahkan kepada setiap agama, sehingga apabila ada sepasang kekasih yang ingin melangsungkan perkawinan, dan mereka menganut agama yang berbeda, maka perkawinan tersebut bisa saja untuk dilakukan jika agama mereka membolehkan. Namun, untuk agama Islam, Kristen Protestan dan Buddha melarang perkawinan beda agama. Kita sebagai manusia yang beragama haruslah taat dengan aturan agama, karena agama merupakan jalan untuk manusia agar dapat terhubung dengan Tuhan.

Perkawinan telah menjadi budaya yang sudah tidak dapat dipisahkan dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan keagamaan. Di Indonesia perbedaan budaya antara laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan bukan menjadi masalah. Hukum di Indonesia tidak melarang perkawinan meskipun pasangan tersebut berbeda suku ataupun adat istiadat, namun yang menjadi masalah adalah jika sudah berhubungan dengan agama. Suatu pernikahan tidak akan lepas dari hukum agama, maka dari itu kita tidak boleh meremehkan pernikahan, harus memahami dengan baik hakikat dan tujuan pernikahan.

Semua orang pasti menginginkan hubungan rumah tangga yang baik, tidak ada permasalahan, semuanya berjalan lancar dan penuh kasih sayang. Namun kenyataannya tidak seperti itu, banyak sekali ujian dalam sebuah pernikahan, dan seperti yang kita tau bahwa masalah ekonomi merupakan yang paling fatal. Banyak pasangan yang bercerai karena faktor ekonomi. Selain itu, sering kita jumpai kekerasan dalam rumah tangga, hal ini tentu tidak boleh dilakukan, karena selain termasuk perbuatan yang merugikan, hal ini juga dapat merusak hakikat pernikahan yang seharusnya penuh dengan kasih sayang. Seperti yang tercantum dalam hukum perdata pasal 103 s/d pasal 107 yakni: Suami istri harus setia menyetiai, tolong menolong dan bantu membantu. Suami istri juga berkewajiban memelihara dan mendidik anak mereka. Suami adalah kepala perkawinan, oleh karena itu istri wajib tunduk dan patuh kepada suami.

Meskipun disitu diterangkan bahwa istri harus patuh pada suami, namun hal itu hanya berlaku apabila suami tersebut adalah orang yang baik, memberikan nafkah lahir dan batin sesuai dengan kemampuan, tidak suka berkata kasar, memberikan perhatian dan kasih sayang, dan menjalankan semua kewajiban sebagai kepala keluarga. Jika seorang istri memiliki suami seperti itu, maka hukumnya wajib untuk mematuhi suami.

Tetapi jika seorang istri memiliki suami yang akhlaknya tidak baik, suka mabuk-mabukan, tidak memberikan nafkah, dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, maka istri dapat melakukan gugatan. Sesuai dengan penjelasan pada pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, yakni: Untuk dapat melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Sebuah pernikahan haruslah dibangun dengan komitmen dan rasa saling percaya, selain itu kita juga harus patuh terhadap hukum agama dan hukum negara dalam melangsungkan pernikahan. Kita harus memahami bahwa kita tinggal di negara hukum, semua aspek kehidupan manusia diatur dalam hukum negara, termasuk urusan pernikahan. Namun untuk urusan pernikahan memang sedikit berbeda penerapan hukumnya, hukum perdata yang berlaku di Indonesia yang membahas tentang perkawinan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya". Ini menunjukkan bahwa negara Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai agama, sampai menyerahkan sepenuhnya urusan pernikahan kepada setiap agama. Maka dari itu kita sebagai manusia yang percaya dengan keberadaan Tuhan, harus mencari petunjuk langsung kepada Tuhan, apabila kita ingin segera menemukan pasangan hidup yang dapat menuntun kita ke dalam sebuah keluarga yang bahagia.

Nama   :   Aqil Naufal

Nim     :   191011500378

Universitas Pamulang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun