Pesta olahraga sejagat telah usai, sebuah closing ceremony yang megah di stadion Maracana menutup pesta di negeri samba. Amerika Serikat kembali menjadi digdaya di ajang 4 tahunan ini. Britania Raya sukses menggeser China di urutan kedua. Indonesia menempati posisi 46 dari 205 negara dengan satu emas dan dua perak.
Dibalik kemeriahan dan terciptanya rekor dunia terselip beberapa kisah menarik yang patut dikenang, mereka adalah para pembeda yang muncul menjadi yang terbaik dan mencetak sejarah baru bagi negara mereka dan bagi dunia. Tidak diperhitungkan namun sukses mencuri keping medali. Berikut beberapa atlet yang menjadi pembuka sejarah tersebut:
Joseph Schooling (Singapura – Renang)
Joseph Scholing merupakan perenang Asia Tenggara pertama yang meraih emas di olimpiade. Hebatnya, dia mengalahakan Michael Phelps sang raja kolom renang di nomor 100M gaya kupu-kupu. Catatan waktunya pun mengkilap yaitu 50.39 detik jauh lebih baik dari catatan waktu Phelps ketika juara di Olimpiade 2008, 50.58 detik. Sebelum tampil di olimpiade, Schooling “hanya” meraih perunggu di kejuaraan dunia 2015. Medali dari Schooling merupakan satu-satunya medali tim Singapura di Rio.
Monica Puig (Puerto Rico – Tenis)
Datang ke Rio dengan modal rangking 33 WTA, Monica Puig jelas tidak diperhitungkan menjadi juara. Apalagi bintang top dunia seperti Serena William atau Angelique Kerber ikut serta. Namun semua prediksi mampu dibalikkan, di final tenis putri, Monica Puig mengalahkan petenis Jerman, Angelique Kerber 6-4 4-6 6-1. Ini merupakan title ketiga sepanjang karirnya. Bagi Puerto Rico, emas tersebut adalah satu-satunya medali yang didapatkan kontingen Peurto Rico di Olimpiade Rio. Puig merupakan atlet Peurto Rico pertama yang meraih emas di olimpiade dan petenis Amerika Latin pertama yang meraih emas di olimpiade.
Tahun Lalu Santiago Lange di vonis mengidap kanker paru sehingga harus merelakan satu paru-parunya diangkat. Dengan hanya satu paru, Lange tetap tampil Spartan bersama pasangannya Cecilia Caranza Saroli memenangkan emas layar kategori campuran Nacra 17 alongside. Menelisik usia Lange 54 tahun, pencapaiannya terasa sangat luar biasa. "Perjuanganku mungkin bisa memberikan kekuatan bagi orang lain yang sedang melewati sama sulit seperti aku dulu. Penyakit ini tak ada apa-apanya, hanya sebuah batu di jalan," tutur Lange.
Fehaid Al-Deehani (Tim Independen - Menembak)
Fehaid Al-Deehani menjadi atlet independen pertama, yang pernah meraih medali emas dalam sejarah penyelenggaraan Olimpiade. Pria 49 tahun, itu tidak bisa membela negara asalnya, Kuwait, karena adanya hukuman dari IOC sejak Oktober 2015. Negara Timur Tengah tersebut dilarang terlibat pada Olimpiade 2016 di Brasil, karena memiliki undang-undang yang mengizinkan campur tangan pemerintah dalam olahraga. Fehaid memenangi nomor double trap putra.
Marcus Ellis/Chris Langridge (Britania Raya – Badminton)
Dengan rangking 22 BWF, pasangan Britania Raya ini disangsikan bisa lolos daari babak penyisihan. Nyatanya mereka lolos dengan mengalahkan ganda kuat Korea, G.J Kim/S.R Kim. Di Perempat final, keduanya membuat kejutan dengan mengalahkan ganda utama Jepang, K.Hayakawa/H.Endo. Walau gagal melaju ke final, Ellis/Langridge tidak ingin pulang dengan tangan hampa, dalam perebutan perunggu mereka mengalahkan Bao Chai/W.Hong. Medali perunggu tersebut merupakan medali perunggu pertama ganda putra Britania di olimpiade dan medali ketiga di badminton sepanjang sejarah.
Menorehkan prestasi diajang sekelas olimpiade memberikan prestise yang berbeda dan kebanggaan bagi para olimpian. Sampai ketemu di Tokyo, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H