Melihat Martapura kita akan melihat bagaimana intan mampu mengangkat martabat kota ini. Jejeran bangunan kota menandakan kemakmuran rakyatnya. Selain kota intan, kota Martapura digelari kota santri. Sebuah tugu besar dalam kota makin memperkuat dugaan saya, kota ini tumbuh dengan cepatnya.
[caption id="attachment_334628" align="aligncenter" width="490" caption="Bagian dalam Masjid Agung tepatnya disisi tua masjid (Foto:koleksi pribadi)"]
Dahulunya Martapura adalah pusat dari kerajaan Banjar. Masjid Agung Al Karomah yang besar salah satu sisa sejarah kerajaan Banjar. Masjid ini merupakan masjid terbesar di Kalsel. Masjid Al Karomah telah dipugar lebih modern, namun didalam masjid kita masih bisa menyaksikan sebagian masa lalu masjid tersebut. Di bagian belakang masih berdiri empat tiang masjid dari kayu ulin bagian struktur masjid tua. Uniknya di tiang kayu tersebut terdapat bunga-bunga yang menandakan tradisi lama masih melekat pada masjid tersebut. Beberapa dari jamaah kelihatan sedang memeluk tiang ulin tersebut, entah apa maksudnya!
[caption id="attachment_334629" align="aligncenter" width="528" caption="Bagian depan pusat belanja ole-ole di Martapura (Foto:koleksi pribadi)"]
Puas mengitari bagian masjid kami beprindah ke Taman Cahaya Bumi Selamat. Dalam taman ini terdapat pasar khusus yang menjual ole-ole khas Kalimantan Selatan seperti manik-manik, permata, intan, baju, ramuan obat-obat tradisional Dayak, kue tradisional hingga senjata tradisional. Yang menjadi incaran wisatawan apalagi kalau bukan intan. Harga intan memang lumayan mahal setara dengan kualitasnya. Yang sebesar biji beras saja harganya sekitar 75 ribu rupiah, soal mahal atau murah tergantung anda!
[caption id="attachment_334626" align="aligncenter" width="259" caption="Onde-onde banyak ditemukan di nusantara (welcome85blogspot.com)"]
Ada cerita menarik, ternyata di Martapura terdapat kue tradisional onde-onde berwarna hijau dengan bentuk bulat kecil dan rasanya manis. Saya pikir kue ini hanya ada di kampung saya di Makassar. Di kampung saya kue ini biasa hadir saat acara syukuran, rasanya acara syukuran tidak sah tanpa kue hijau yang manis ini. Seorang teman dari Medan juga bilang di kampungnya kue ini juga ada dan sering hadir saat pesta. Wah, ternyata antara Makassar, Martapura dan Medan punya benang merah bernama onde-onde.
[caption id="attachment_334627" align="aligncenter" width="525" caption="Bukan sekedar Batu, batu dengan nilai yang mahal (Foto:koleksi pribadi)"]
Untuk yang berkantong pas-pasan baju kaos bermotif dayak atau manik-manik (perhiasan) bisa jadi alternatif untuk kenang-kenangan. Harga perhiasannya lumayan murah dan memiliki banyak pilihan. Dibanding di kota Balikpapan, perhiasan di Martapura lebih baik. Saya perhatikan sebagian besar pedagangnya berperawakan arab, memang banyak keturunan Arab di kota ini mereka adalah keturanan generasi yang membesarkan Martapura. Selain suku Banjar yang dominan, juga terdapat suku Jawa, Madura, Sunda, Bugis, Arab, Tionghoa dll.
Selama perjalanan dua hari di Banjarbaru dan dua jam Martapura nafas syariah berhembus cukup kencang di kedua kota ini. Saya hampir-hampir tidak menemukan dua sejoli yang beradu kasih dijalanan seperti yang banyak di kota saya Makassar. Perkembangan kota tidak lantas melunturkan pilar-pilar moralitas. Dengan pesawat yang sama ATR 72 milik Wing Air saya meniggalkan Banjarbaru, sebuah perjalanan yang membekas yang membuka horizon berpikir saya. Ini sebuah cerita tentang dua kota yang tumbuh dengan masyarakat yang teguh memelihara tradisi keagamaan.
Salam Kompasiana