Mohon tunggu...
Indra Sastrawat
Indra Sastrawat Mohon Tunggu... Administrasi - Wija to Luwu

Alumni Fakultas Ekonomi & Bisnis - UNHAS. Accountant - Financial Planner - Writer - Blogger

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Maling Teri Mati, Maling Kakap Tersenyum

11 Januari 2014   13:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wandy seorang pemuda di Makassar bernasib tragis. Gara-gara kepergok mencuri disalah satu rumah dia dihajar massa hingga tewas. Mencoba untuk lari, namun langkahnya terhenti di kepung oleh massa, amuk massa terjadi, bogem mentah, batu hingga kayu menghujam tubuh dekilnya. Aparat tiba terlambat, malaikat maut lebih dahulu menjemputnya, membawanya kembali ke pangkuan ilahi. Wandy si maling teri akhirnya mati dalam kemiskinan dan keputusasaan. Sehari kemudian, di rumah keadilan di bilangan Rasuna Said bernama KPK, seorang politisi kakap menjalani penahanan atas kasus yang merugikan Negara milyaran rupiah, Hambalang.

Dalam wajah letihnya, dia masih sempat memberikan sebaris senyum, sesuatu yang lumrah terjadi di republik ini. Maling kakap bernasib lebih baik dari maling kampung. Wandi merupakan representasi ketidakadalian hukuman atas kejahatan di negeri ini, tidak sempat membela dirinya apalagi memberi sebaris senyum. Namun para bedebah itu bisa berleha-leha dengan hukum, menyewa pengacara mahal yang harga parfumnya bisa untuk makan satu keluarga miskin selama setahun.

Ketika masih kuliah dan tinggal di asrama, setidaknya tiga kali kompleks asrama kami di masuki pencuri. Nasib ketiga pencuri tersebut berakhir tragis. Yang pertama, maling sepatu dia tertangkap di salah satu pondokan mahasiswi. Digebukin berjam-jam hingga kemudian polisi dan keluarga korban datang mengambilnya, kabarnya dia mati di rumah sakit. Maling kedua adalah maling dompet, dia tertangkap mencuri dompet salah satu mahasiswa. Nasibnya juga tragis, ditangkap dan diikat di tiang listrik dan digebukin ramai-ramai. Kabar terakhir yang saya dengar dia pun tewas. Yang ketiga, maling komputer dia tertangkap dan jadi bulan-bulanan, tubuhnya seperti sasak pohon pisang yang dihajar. Beruntung dia masih sempat diamankan oleh polisi, dia nyaris mati.

Saya lantas membandingkan dengan kasus maling besar yang saya lihat di televisi. Maling alias pembobol century masih kabur dan bebas gentayangan mengumbar senyum, lalu maling Hambalang masih bisa tersenyum, setidaknya dia masih bisa memakan roti buatan istri tersayang, lalu maling Bantuan sosial di Makassar di kota yang sama Wandy tewas, dia masih bisa tersenyum ketika diperiksa bahkan beberapa anggota dewan yang tersangka masih bisa jadi caleg lagi di 2014. Sungguh ironi. Saya lantas membayangkan seandainya para koruptor diperlakukan seperti maling teri, biar hukum jalanan yang mengadlinya. Nasibnya pasti sama yaitu mati diamuk massa karena rakyat kita sudah sangat jengkel dengan koruptor.

Rasa keadlian kita sering dipermainkan oleh aparat hukum, maling teri yang mencuri sekedar menyambung hidup harus dihukum berat, sebaliknya maling kakap yang merugikan Negara bermilyar hingga triliunan rupiah hanya di hukum ringan. Belum lagi di penjara dia mendapat fasilitas mewah lengkap dengan pendingin ruangan, televisi layar datar hingga tukang pijat. Hukum seperti mata pisau, tajam dibawah namun tumpul diatas.

Belajar kepada negeri Tirai Bambu China. Pemerintahnya tidak segan-segan menghukum mati para bandit uang negera. Logikanya sederhana, kehilangan 5, 10 hingga 1000 nyawa koruptor tidak akan membuat suatu negeri akan hancur justru sebaliknya negeri tersebut akan semakin kuat karena hukum adalah panglima seperti kata presiden kita SBY. Lalu kenapa di Indonesia, hakim dan aparat hukum masih malu-malu menghukum mati para bandit uang Negara itu? Padahal dulu kita seringkali diajari tentang kearifan sejarah, Ratu Shima seorang raja di tanah Jawa bahkan rela memotong tangan putranya sendiri karena disangka mencuri, namun kenapa kini justru anak cucunya jadi melempem sama koruptor. Kalau tidak bisa menghukum mati, coba asingkan saja para koruptor itu ke pulau kosong. Kita punya banyak pulau kosong yang tak berpenghuni. Di pulau kosong jangan lagi dikasih manja lagi, biar mereka belajar untuk bertahan hidup, menanam sendiri makanannya hingga mencuci sendiri pakaiannya. Sampai mereka jera. Saya yakin jumlah koruptor akan turun drastis, negeri ini akan makmur dan maling teri seperti Wandy semakin berkurang.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun