Dibawah terik matahari siang yang panas, kami berjalan menyusuri tiap sudut terminal. Beberapa petugas berseragam biru sedang duduk melamun. Disudut lain beberapa awak bus Nampak asyik menikmati siang dengan merebakan dirinya dimeja yang ditinggal penjualnya. Sejak beberapa tahun terminal kehilangan pamornya, sebuah pemandangan lazim di terminal terbesar di Indonesia timur, Terminal Regional Daya (TRD). Megah dan sepi menyambut kedatangan kami.
[caption id="attachment_346299" align="aligncenter" width="490" caption="Terminal Regional Daya yang terbengkalai dan dilupakan (foto:www.wikimapia.org)"][/caption]
Nyaris tak ada kegiatan angkut penumpang siang itu seperti layaknya sebuah terminal. Terminal yang pernah menjadi salah satu ikon Makassar ini lebih mirip tempat parkir yang tak beraturan dari pada sebuah terminal. Jumlah awak dan pedagang jauh lebih banyak dari penumpang. Siang itu untuk keperluan mengirim barang kami sengaja datang ke TRD, ada supir langganan keluarga yang mangkal di terminal tersebut.
Pemandangan berbeda justru terjadi diluar sana. Sekitar 100 meter dari TRD suasana ramai ala terminal justru Nampak. Tempatnya pas didepan markas AURI. Beberapa supir dan mobil-mobil mini bus seekelas panther, Avanza atau Innova sedang menanti penumpang. Penumpang pun lebih nyaman memilih naik di terminal bayangan dari pada terminal resmi milik pemerintah. Apalagi lokasi terminal bayangan yang lebih strategis di jalan poros. Sedangkan terminal letaknya agak kedalam yang makin dijauhi penumpang.
Saya masih ingat sekitar tahun 2003, terminal ini sangat ramai dengan penumpang. Bahkan menjelang lebaran suasana terminal benar-benar ramai layaknya pasar malam. Bus dan mini bus kesulitan untuk keluar dari terminal gara-gara sesak dengan kendaraan dan penumpang. Masa-masa itu masa-masa romantis TRD, masa-masa yang tidak mungkin terlupakan oleh saya. Zaman itu bus-bus jarak jauh menjadikan TRD sebagai base camp.
Dan saya bisa menikmati hingar bingar terminal disatu sudut ruang tunggu ditemani televisi dan kursi tunggu. Memandang bus yang besar dengan corak gambar bermacam-macam sampai tingkah laku awak bus yang gesit menuntun penumpang, disudut lain beberapa calo coba merayu penumpang dengan harga tiket yang selangit, beberapa anak gadis dengan suara merdunya dan dandanannya menjadi hiburan tersendiri, itu TRD yang kini tinggal kenangan.
Sekarang TRD tidak lebih hanya rumah singgah yang tidak bernilai dimata pemilik otobus (Bus besar). penumpang dan supir lebih senang menaikan penumpang di pool masing-masing. Celakanya pool tersebut berada di poros kemacetan. Entah sudah berapa banyak demo dan petisi yang diultimatum oleh para pedagang dan pemerintah namun nasib TRD tetap tidak menarik. Dia serupa rumah yang ditinggal penghuninya.
[caption id="attachment_346300" align="aligncenter" width="534" caption="Sepi adalah TRD sekarang (Foto:www.wawanku.com)"]
Apa susahnya memaksa mereka untuk patuh sama aturan? ini pertanyaan yang sering mengapung dipikiran saya. Dengan segala otoritasnya pemeritah mestinya punya taji memaksa mereka tertib untuk masuk kedalam terminal. Selain itu kehadiran bus-bus yang memarkir dan menaikan penumpang didalam kota banyak meresahkan karena seringkali menimbulkan kemacetan baru.
Ada beberapa bus jarak jauh (AKDP dan AKAP) yang bermarkas di poros Perintis kemerdekaan yang padat. Mereka ini yang secara tidak langsung sering membuat masalah baru bagi kemacetan di Makassar. Walau tanpa bus-bus tersebut sebenarnya Makassar memang diambang macet total.
[caption id="attachment_346301" align="aligncenter" width="518" caption="Papan peringatan yang tidak mampan lagi (www.eksepsionline.com)"]