Mohon tunggu...
Indra Sastrawat
Indra Sastrawat Mohon Tunggu... Administrasi - Wija to Luwu

Alumni Fakultas Ekonomi & Bisnis - UNHAS. Accountant - Financial Planner - Writer - Blogger

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makassar Masih Rantasa Bos!

20 Juli 2014   07:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:50 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_348678" align="aligncenter" width="560" caption="Pemandangan yang masih sering terjadi (foto:tribunnews.com)"][/caption]

Di  Makassar nama Lisa mendadak populer, spanduknya bertebaran dimana-mana diporos kota sampai gang sempit. Spanduknya bersaing dengan spanduk capres yang masih menterang menebar pesona juga spanduk para caleg yang rata-rata gagal mentas. Jangan salah karena Lisa yang ini bukan artis dadakan yang rajin menggoda kita untuk mengirim SMS, dia hanya berupa tulisan terang Lihat Sampah Ambil (Lisa).

Disana di negerinya Obama, oleh salah satu produk komputer, Lisa dijadikan salah satu nama produknya. Ada yang menyebut Lisa sebuah akronim cerdas dari Local Integrated System Architecture (Lisa), sebuah proyek besar Steve Jobs di tahun 1978. Ketika itu Steve Jobs belum tenar. Ada yang bilang Lisa merupakan anak dari Steve Jobs yang sempat tidak diakui oleh sang maestro teknologi tersebut. Proyeknya berakhir di tahun 1987 dengan hasil yang gemilang. Dan dilanjutkan oleh proyek lain yang lebih hebat.

Dari dua uraian diatas bahwa dari persektif Lisa kita bisa menarik benang merahnya, masalah sebagian besar kota di Indonesia tidak jauh dari urusan sampah. Sedangkan Negara maju sedang beradu cepat di bidang teknologi komputer dan elektronik yang canggih, kita masih berkubang dalam urusan sampah. Makassar misalnya sejak zaman Suwahyo yang asli Semarang sampai Danny Pomanto yang asli Gorontalo masalahnya tetap sama adalah sampah. Padahal antara keduanya terpaut waktu 20 tahun lebih.

Ini gambaran kecil bahwa kita tidak pernah tuntas merancang persoalan sampah. Disaat kota-kota dunia sudah berpikir tentang smart city, kota seperti Makassar justru tersandung masalah sampah. Dan kita seperti kembali ke urusan 20 tahun silam. Makanya saya kadang risih ketika membaca baik di spanduk dan tulisan di media yang menyebut Makassar kota dunia. Apa pantas kota dunia masih berkubang dengan urusan sampah, belum lagi persoalan macet, tata kota yang penuh ruko, minimnya faslitas ruang terbuka !!! sebuah anomali dan ironi yang memalukan.

Tahun ini diakhir masa jabatan pak Ilham Arief Sirajuddin tanpa dinyana Makassar meraih adipura, padahal secara kasat mata kota yang pernah menjadi bandar niaga ini tidak layak mendapatkannya. Menyebut Makassar sebagai kota dunia seperti menampar wajah sendiri, membuka borok kota yang lalai memberikan hunian yang indah bagi warga kotanya. Persoalan sampah 20 tahun silam dengan sekarang tentu sudah berbeda, begitu pula teknologi yang mengiringi penanggulangan sampah sudah semakin bagus dan  ramah lingkungan. Coba lihat deretan mobil-mobil pengangkut sampah yang tua lagi karatan, dari jarak satu kilometer sudah bisa dikenali bentuk dan aromanya. Mobil-mobil sampah tidak ubahnya kapal Pelni bertingkat empat yang berlayar ditengah lautan dengan warna warni lampunya, dimana lampunya adalah limbah rumah tangga dan perusahaan warna warni yang menjulang tinggi.

[caption id="attachment_348681" align="aligncenter" width="560" caption="Truk sampah punya kota Makassar (foto:tribunnews.com)"]

1405789218822839775
1405789218822839775
[/caption]

Kadang saya berpikir pemimpin memang punya loncatan berpikir yang menakjubkan, mereka ingin menimbun laut untuk dibangun istana dan monument yang membanggakan tapi di belakangnya pantai Losari penuh dengan sampah. Jalan-jalan dilebarkan biar pengendara bisa memacu kendaraannya tapi mereka membiarkan drainasenya (saluran air) tersumbat dengan sampah.

Apa yang dilakukan Steve Jobs dengan proyek Lisa bisa dicermati dari timeline model yang dia rancang. Semua terstuktur dan berjenjang serta selalu mengikuti perkembangan zaman. Tidak ada langkah mundur atau mengulangi kesalahan yang sama. Karena kita sudah terlanjur mundur 20 tahun kebelakang, maka diperlukan lompatan ide, kerja, inovasi atau apalah namanya agar dalam tempo yang singkat, dimana sampah bukan lagi menjadi musuh tapi dia menjadi sahabat.

Saya kira tempat sampah tidak mampu menyembuyikan siri (rasa malu) kita kepada tamu yang datang ke kota Makassar bila menyaksikan kita tidak becus menuntaskan sampah. Lebih baik melakukan langkah kecil namun berdampak besar dan akan dikenang sebagai prestasi dari pada sibuk dengan ide besar tapi miskin tindakan. Sekali lagi Makassar'ta masih rantasa (kotor).

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun