Mohon tunggu...
Indra Sastrawat
Indra Sastrawat Mohon Tunggu... Administrasi - Wija to Luwu

Alumni Fakultas Ekonomi & Bisnis - UNHAS. Accountant - Financial Planner - Writer - Blogger

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Merespon Garuda

29 November 2014   20:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:31 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_379086" align="aligncenter" width="530" caption="Garuda senior saat dikalahkan Filipina 0-4 (foto:bola.viva.co.id)"][/caption]

Berondong lima gol ke gawang Laos tidak mampu membawa sekelompok "berondong tua" melangkah ke semifinal. Dan seperti orang Prancis bilang, bahwa sejarah akan berulang, Indonesia mengulang kegagalan dua tahun silam. Sangat mengherankan bagaimana bisa para pemain yang digaji besar diklub masing-masing malah tampil seadanya dilevel timnas. Sepakbola adalah kombinasi antara speed, skill dan sprit, jika tidak memiliki ketiganya omong kosong tim tersebut bisa menang, dan celakanya timnas kita tidak memiliki ketiganya. Kalau pun harus kalah, lakukan dengan cara yang patriot bukan dengan cara "sontoloyo" seperti ini, loyo tanpa determinasi, asal nendang bola kedepan, main tanpa skema, bermain kasar dan mengharapkan keajaiban. Mana ada supporter yang senang ditimnasnya di berondong shooting alias jadi bulan-bulanan lawan.

Sangat berat memaksa sekelompok pemain yang dimakan usia berlari, soal skill lagi-lagi ini menjadi masalah klasik, pemain tidak mampu mengontrol bola dengan baik, padahal ini teknik dasar dalam sepakbola, bola selalu memantul dan terasa berat untuk di passing, belum lagi kebiasaan menggoreng bola sendiri sampai hangus. Ketiga adalah spirit, mereka tidak punya, sepertinya spirit mereka sudah habis ketika sebagian pemain tersebut berjibaku di putaran final Liga Super Indonesia, kelihatan sekali mereka bermain tanpa spirit. Coba lihat pemain naturalisasi Filipina, mereka sebagian besar ditempa di klub lokal Filipina, bermain diliga antah berantah. Dulu gaji pemain bola tidak besar bahkan terbilang kecil tapi mereka mampu main dengan membanggakan, alumni timnas yang membawa juara di Sea Games 1991 sebagian besar hidup pas-pasan bahkan ada yang jatuh miskin, pemerintah bahan "hanya" menghargai jasa mereka sebesar 100 ribu perbulan sebagai uang jasa. Mungkin karena kita tidak bisa berterima kasih dengan layak kepada mereka hingga timnas kita tidak pernah lagi membawa trofi.

Muara dari kompetisi yang baik adalah sekumpulan pemain tim nasional yang andal. Orang boleh berkelit bahwa liga Inggris adalah liga terbaik di dunia tapi timnas mereka tiak punya presetasi baik, dan itu tidak sepenuhnya benar, seburuk-buruknya timnas Inggris mereka masih bisa tampil di putaran final piala Eropa dan piala dunia, sedangkan timnas kita di asia tenggara saja sering babak belur. Otomatis jika dibandingkan AFF 2012, pencapian sekarang adalah sama, bahkan secara kualitas permainan timnas AFF 2012 dengan skuad seadanya mampu bermain lebih baik, setidaknya mereka mengalahkan Singapura yang kemudian menjadi juara. Namun dibalik kegelapan timnas terpancar seberkas sinar dari pemain muda semacam Evan Dimas, Ramdani atau Manahati Lestusen bisa menjadi estafet garuda senior.

Kekesalan pantas disematkan pada pelatih Alfred Riedl yang gagal mengembalikan permainan memikat sepert di AFF 2010. Dari awal saya tidak optimis dengan timnas ala Riedl ini, pola permainan mengandalkan dua sayap mudah terbaca lawan, boro-boro mengandalkan sayap justru dari sisi ini timnas kita dihajar, belum lagi pemilihan pemain yang kebanyakan dihuni old crack jelas tidak mendukung skema main cepat dan taktis. Riedl tidak belajar dari kegagalan Ivan Toplak di Sea Games 1993, dengan skuad tuanya dihajar oleh lawan-lawanya. Bukan hanya Riedl yang harus bertanggung jawab tapi pengurus PSSI yang tidak mampu meramu sebuah kompetisi yang menjadi embrio timnas, mereka harus legowo angkat koper dari PSSI. Tahun depan ada kongres PSSI, para pecundang sebaiknya tidak lagi mengurusi sepakbola kita, kalau tidak ingin sejarah akan berulang.

Skema permainan yang dimainkan Evan Dimas cs selama ini mestinya menjadi patron bagi timnas senior, saya justru heran, dengan segudang pengalaman di liga super mereka tidak bisa memainkan sebuah sepakbola memikat seperti garuda muda. Maka tidak salah jika mencoba menjadikan Indra Syafri sebagai pelatih kepala timnas senior. Dengan pengalamannya di garuda muda, Indra bisa melakukan revolusi permainan.

Tahun 2014 adalah tahun kegagalan, mulai dari timnas U-23 yang dihajar Thailand di Asian Games, lalu timnas U-20 gagal menembus dunia dan ditutup oleh kegagalan timnas senior di AFF 2014 dan masih diberi bonus, sebuah dagelan sepakbola gajah. Sangat mustahil mendapatkan hasil yang berbeda dengan cara yang sama, dengan orang-orang yang sama, dengan pikiran dan kerja orang yang sama, sudah saatnya era baru sepakbola segera datang. Kita memerlukan orang baru yang professional, yang bisa melakukan pekerjaan mengurus sepakbola nasional. Orang lama adalah masa lalu. Kegagalan di AFF 2014 kali ini seperti judul sebuah lagu yang sedang populer, Sakitnya tuh disini.

Salam

activate javascript

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun