Tulisan ini dibuat berawal dari postingan saya di beberapa akun sosmed saya tentang beberapa tulisan yang membahas "Tanwir II Aisyiyah" dimana salah satu kajian dalam seminarnya membahas sedikit tentang tentang poligami. Pada Kesempatan tersebut Prof Amin Abdullah dan Pak Agung Danarto yang menjadi pembicara memang menyinggung masalah poligami. Disampaikan  oleh Agung Danarto bahwa monogami lebih berpeluang untuk mencapai keluarga sakinah, sedangkan Pak Amin mengungkapkan bahwa bermimpi saja tidak sempat untuk berpoligami.
Sontak Ramai diberbagai media pro dan kontra tentang masalah poligami ini, saya sendiri dibanjiri pertanyaan oleh beberapa khalayak sosmed beberapa pertanyaan tersebut seperti : kasihan dong perempuan yang jumlahnya lebih banyak dari laki-laki.....?, pertanyaan yang lainnya jika istrinya mengalami disabilitas mental atau bisa juga disebut  Orang dengan Ganguan Jiwa (ODGJ) apakah hukum poligami menurut muhammadiyah mutlak tidak membolehkan...? seketika itu pula saya jawab... Muhammadiyah sudah membuat pedoman di buku tuntunan Keluarga Sakinah bahwa Muhammadiyah tidak menganjurkan poligami untuk mewujudkan Keluarga sakinah dan monogami lebih berpeluang dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, seperti yang tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah bahwa "Untuk mewujudkan Keluarga Sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peuang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya" (HPT 2018:239)
Poligami bukan masalah jumlah perempuan  dan laki-laki banyak atau sedikit. Bukan Masalah urusan kepuasan seksualitas belaka, Namun hal yang terpenting adalah mempertimbangkan tujuan syariat yaitu kehidupan yang baik yakni kebahagiaan, kesejahteraan dan keharmonisan, yakni sakinah mawaddah warahmah. Ketika para pembela poligami menggunakan QS An-Nisa ayat 4 saja sebenarnya belum cukup untuk dijadikan landasan karena dalam surat yang sama  QS An-Nisa ayat 129 dipertegas tentang ketidak mungkinan untuk berlaku adil, dengan demikian maka praktik poligami sebenarnya sulit dilakukan karena untuk berlaku adil itu sangat sulit, hampir dipastikan suami akan lebih condong pada salah satu istri. disini tertangkap sebuah pesan bahwa monogami sangat dianjurkan untuk menciptakan keadilan.
Kemudian ketika dikaitkan dengan bagaimana ketika istrinya ODGJ, Disabilitas?  yang membuat saya heran kenapa pertanyaannya jika istrinya disabilitas maka suami boleh berpoligami, misalnya pertanyaan itu dibalik lalu jika suami disabilitas bagaimana dengan istrinya?, kondisi seperti ini berakibat pada diskriminasi bagi para perempuan disabilitas, Nurul dari Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SABDA Jogja) pernah mengungkapkan dalam perbincangan kami  pada kesempatan yang lain,  menurutnya pada tahun 2008-2010 ada sebuah penelitian bahwa perempuan disabilitas baru yang mendapatkan kekerasan karena kediasbilitasannya. Sebelum dia menjadi disabilitas dia adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Dia bekerja pada sebuah perusahaan, bersuami dan punya anak, begitu gempa dia dipecat dari perusahaan, ditinggalkan oleh suami, sebagai seorang istri dia tidak dapat melayani lagi dan sebagai seorang ibu dianggap tidak dapat mengurusi anak-anaknya. Multi diskriminasi menimpa perempuan disabilitas.Â
Sedangakan menurut beberapa ulama', banyak yang bertoleransi terahadap praktik poligami dalam kondisi darurat. Darurat yang dimaksud adalah diantaranya istri mandul  sehingga tidak bisa melahirkan keturunan, istri mengidap penyakit permanen yang menyebabkan istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri. Menurut Abdul dan Qosim, dua darurat tersebut dapat menjadikan alasan suami berpoligami (Al Farobi, Ibimes)
Sementara Al-Maraghi dan Shihab menambahkan daftar darurat tersebut, seperti libido suami tinggi sementara libido istri rendah, istri menopause sementara suami masih segar, jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki. Namun, para ulama tersebut belum berfikir jika kondisi sebaliknya yang terjadi, jikalau suami mandul, suami mengidap penyakit permanen, suami mengalami andropause, jumlah laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan, (Al farobi, Ibtimes) saya tambahkan jika suami difabel/disabilitas? apakah perempuan sebagai istri diharuskan menerima, sabar dan tabah untuk mengasuh dan menghadapi kondisi suami tersebut? maka jika demikian yang terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Tulisan ini sebenarnya ingin mengetuk hati para suami, bahwa apakah tujuan pernikahan hanya melulu untuk mencapai kepuasan seksual semata, ataukah menciptakan keluarga sakinah itu bisa diraih dengan banyak cara tidak hanya berorientasi seks. Banyak kasus juga dilapangan suami setia mengasuh istri yang difabel dan tidak harus dengan menikah lagi atau poligami, begitu pula sebaliknya. Karena bagi mereka mewujudkan keluarga sakinah bukan hanya berorientasi seks semata, namun masih banyak yang bisa dilakukan, berpikir positif untuk kemajuan negeri, bangsa dan agama lebih penting dari pada sibuk berfikir untuk menilah 2,3,4 lagi. Lebih khusus bagi para suami aktivis jika tenaga dan waktu dihabiskan untuk berfikir mengembangakan persyarikatan, maka untuk memikirkan poligami tidak akan ada waktu bahkan bermimpi saja tidak sempat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H