"Aku akan pergi dan mungkin tak akan kembali lagi," ucap Mustapa saat itu, saat senja perlahan kembali ke peraduannya.
Di samping Mustapa berdiri sosok gadis yang terdiam membisu, pandangannya menunduk lesu melihat tempat pijakan kakinya, tak terucap sepatah kata. Perlahan alam mulai petang, keduanya hanyut dalam gelombang raksasa rasa dalam jiwa yang meluluhlantakkan benih-benih cinta diantara mereka.
***
Juli 1825, kelak akan menjadi catatan sejarah kelam tentang perjuangan yang mengorbankan jiwa, raga, pun nyawa. Di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, Mustapa beserta ribuan bala tentara lainnya dengan semangat yang membara bertempur melawan pasukan penjajah Belanda. Puluhan, ratusan bahkan ribuan orang-orang gugur dalam pertempuran. Amis aroma darah memenuhi udara pulau Jawa, terhempas angin membumbung ke angkasa, mencipta cerita suram di bumi Nusantara.
Entah sudah berapa ratus orang yang meninggal saat ini. Pertempuran belum juga usai. Sutejo, teman karib Mustapa yang ikut pertempuran tertembak di dada kirinya. Ia sekarat, tatapannya kosong menatap langit gelap. Suara serdadu dan hempasan-hempasan peluru manjadi irama yang terus bergema dalam gendang telinga.
"Mas, saya yakin kita akan menang," ucap Sutejo terbata-bata dengan suara yang lemah. Mustapa tak kuat menahan haru, matanya mulai berkaca-kaca. Sambil terus Mustapa membisikan lafal Allah ... Allah ... Allah di telinga kanan Sutejo.
"Merdeka ... Allah ... Merdeka." Sutejo menutup mata untuk selama-lamanya. Ia telah selangkah dahulu mencapai hakikat kemerdekaan. Merdeka dalam surga-Nya, gugur sebagai para syuhada. Tangis Mustapa pun pecah.
Perlahan tangis Mustapa reda, ia melihat pasukan tentara Jawa dan penjajahan Belanda masih berkecamuk dalam peperangan. Seperti itu juga, dalam hati Mustapa berkecamuk dilema dua rasa. Satu rasa Mustapa sangat membenci kebengisan, kekejaman dan penindasan para penjajah Belanda. Namun, disisi lain ada takdir rasa yang tak mampu Mustapa mengelaknya.
Mustapa bangkit dan tangan kanannya mengambil bambu runcing yang telah berlumur darah teman karibnya, Sutejo. Tangan kirinya dengan erat memegang tiang bambu bendera merah putih. Ia berlari ke depan dan bertempur dengan semangatnya. Namun, tak lama kemudian timah panas pasukan penjajah Belanda menembus dada Mustapa.
Mustapa jatuh tersungkur. Ia merasakan perlahan raganya dingin. Matanya menatap mayapada dan perlahan bayang-bayang cerita hidupnya seakan datang menari-nari di awang-awang. Sebelum Mustapa memejamkan mata untuk selama-lamanya, ia masih ingat satu memori yang kuat melekat dalam hatinya.
***
9 Januari 1825, di tepi sungai duduk  pemuda dan pemudi berdua menatap bening air yang mengalir dengan bias cahaya petala cakrawala yang tertutup tipis awan putih.
"Adakah Tuhan salah dalam takdir?" Tanya Anelise, seorang gadis putri dari salah satu tentara penjajah Belanda.
"Entahlah, tapi apakah mungkin cinta kita mampu bersatu? Aku orang pribumi dan kamu putri dari penjajah di negeri ini," ucap Mustapa.
"Aku yakin cinta itu tak bersyarat. Syarat cinta tak harus pribumi dengan sesama pribumi," jawab Anelise.
"Dan aku sangat mencintaimu, Mas," sambungnya samil tertunduk. Terlihat bening bulir air mata yang mulai menganaksungai di netranya.
Keduanya kemudian larut dalam diam. Di hati keduanya sama tercipta sebuah bisik doa dan harapan agar tak ada lagi penjajahan di muka bumi ini. Entah itu penjajahan segi pikiran, penjajahan segi keyakinan, penjajahan status sosial pun penjajahan segi kasta yang membatasi rasa, merantai cita-cita dan membelenggu cinta.
Trenggalek, 140820
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H