***
9 Januari 1825, di tepi sungai duduk  pemuda dan pemudi berdua menatap bening air yang mengalir dengan bias cahaya petala cakrawala yang tertutup tipis awan putih.
"Adakah Tuhan salah dalam takdir?" Tanya Anelise, seorang gadis putri dari salah satu tentara penjajah Belanda.
"Entahlah, tapi apakah mungkin cinta kita mampu bersatu? Aku orang pribumi dan kamu putri dari penjajah di negeri ini," ucap Mustapa.
"Aku yakin cinta itu tak bersyarat. Syarat cinta tak harus pribumi dengan sesama pribumi," jawab Anelise.
"Dan aku sangat mencintaimu, Mas," sambungnya samil tertunduk. Terlihat bening bulir air mata yang mulai menganaksungai di netranya.
Keduanya kemudian larut dalam diam. Di hati keduanya sama tercipta sebuah bisik doa dan harapan agar tak ada lagi penjajahan di muka bumi ini. Entah itu penjajahan segi pikiran, penjajahan segi keyakinan, penjajahan status sosial pun penjajahan segi kasta yang membatasi rasa, merantai cita-cita dan membelenggu cinta.
Trenggalek, 140820
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H