Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Becak Kota Tua

6 Maret 2021   20:32 Diperbarui: 6 Maret 2021   20:43 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar:Pixabay

Kini keduanya kembali diam menyelusuri kegalauan hati. Entah sampai kapan kebutuhan kehidupan hanya berjalan tutup lubang gali lubang. Otak Kasdi berpikir keras. Bagaimana caranya hari ini ia pulang mampu membawa uang untuk beli beras. Ia masih ingat saat berangkat istrinya memberi tahu bahwa beras yang dimiliki tinggal satu kali masak lagi. 

Apa ia akan meminjam beras lagi ke warung tetangga? Tapi pinjaman yang tempo hari juga belum mampu ia lunasi. Suara azan terdengar dari masjid-masjid. Kasdi beranjak pergi mengayuh becaknya menuju masjid terdekat memenuhi panggilan untuk salat.

Setelah selesai salat Kasdi kembali mengayuh becaknya. Teringat dulu-dulu jika telah melewati waktu Zuhur beberapa rupiah sudah ia dikantongi. Kasdi tahu kalau sore hari jarang orang yang menggunakan jasanya, pasar telah sepi. Lalu ke mana lagi ia mencari penumpang? Ia harus mencari pangkalan yang lain. "Aha! Aku akan coba mangkal di perempatan dekat kampus saja. Mungkin di sana nanti ada mahasiswa atau mahasiswi yang pulang mau naik becak." Pikirnya.

Beberapa jam Kasdi mangkal di perempatan dekat kampus belum juga dapat penumpang. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi ramai keluar dari kampus untuk pulang. Sebagian naik motor sendiri juga ada yang boncengan berdua sambil ketawa-ketiwi. Sisanya banyak yang memilih naik bus. Selain naik bus lebih cepat, juga tepatnya lebih murah. Matahari semakin condong ke arah barat, tapi belum juga ada yang menggunakan jasa becaknya.

Si Kasdi hanya bisa terdiam. Ia lap mukanya dengan handuk kumal yang sedari tadi nempel mengalung di leher. Beberapa teguk air mineral yang ia bawa dari rumah telah habis membasahi kerongkongannya yang dahaga. Wajahnya semakin terlihat putus asa, ia sadar benar bahwa mana mungkin anak-anak pelajar yang terkenal dengan sebutan kaum intelektual mau naik becak.

Bukannya itu terlihat kampungan? Atau terlihat norak? Atau apalah yang jelas seperti ada rasa gengsi saat naik becaknya yang catnya kini mulai terkelupas tergantikan dengan warna cokelat besi berkarat.

Teringat saat ia masih kecil dulu, kala hari-hari terakhir bulan Ramadhan ia diajak Emaknya belanja ke pasar dan pulang naik becak. Ia merasa naik becak adalah suatu kebanggaan yang membuat dirinya merasa bahagia. Kemudian saat ia bertemu dengan temannya ia ceritakan habis ke pasar pulangnya naik becak. Teman-temannya pun menanggapi dengan antusias. Tapi, itu dulu dan sangat berbeda dengan sekarang ini. Di mana alat transportasi yang namanya becak terasa sudah diambang bibir kepunahan.

Kasdi hanya berpikir jika toh kini telah banyak alat transportasi baru yang lebih menyingkat waktu, tapi setidaknya jangan hilangkan becak dalam arus peradaban. Menghilangkan keberadaan becak sama saja menghilangkan lapangan pekerjaannya. Bukannya sekarang banyak orang-orang yang sambat dan mengeluh tentang lowongan pekerjaan. 

Kenapa pejabat di daerahnya tidak menjadikan becak sebagai bentuk alat pariwisata baru yang bisa menghasilkan puing-puing penghasilan ke masyarakat? Selain upaya menciptakan lowongan kerja juga upaya agar becak sebagai bentuk kearifan lokal yang ramah lingkungan tetap eksis terjaga sebagai warisan budaya bangsa.

Tak terasa azan waktu Asar telah terdengar membuyarkan rekreasi lamunan dan angan-angan Kasdi. Ia pun beranjak pergi memenuhi panggilan-Nya. Raganya terlihat lemas saat ia perlahan kayuh becak butut, ia seperti kehilangan semangat dalam hidup, raut muka kusamnya mengulum kesedihan yang teramat dalam. Bagaimana nanti jika telah sampai rumah? Apa yang akan disampaikan pada istrinya? Apakah ia akan jujur bahwa seharian tak menghasilkan apa-apa? Lalu ia melihat wajah istrinya sedih dan mereka larut dalam ratapan secara berjamaah? Entah.

Dalam perjalanan pulang mata Kasdi membasah. Segala pertanyaan yang ada di balik batok kepala hanya membuat dirinya merasa tak berguna sebagai kepala keluarga, ia seperti gagal. Tapi mau apa dikata? Dirinya hanya memiliki ijazah lulusan SD yang jelas akan terpental jauh oleh persaingan kala mencari pekerjaan. Walaupun ia kini merasa putus asa, tetapi ia tak boleh menyerah. Ada yang harus terus diurus sebagai tanggung jawabnya ..., Keluarga. Setidaknya masih ada beras untuk dimasak satu kali lagi. Walau tak kini, semoga besok ia akan dapat rezeki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun