Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepetak Sawah

6 Maret 2021   19:21 Diperbarui: 6 Maret 2021   19:26 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.

Pagi harinya aku ikut Bapak ke sawah untuk matun[1] dan setelah rada siang kami berdua duduk di pematang sawah. Satu botol plastik berisi air mineral dan beberapa potong rebusan singkong kami santap sambil merasakan panas mentari yang membakar diri.

"Bapak mau tanya, Nak. Kenapa tanaman padi perlu diwatun?" Tanya Bapak sambil meledekku.

"Ya, biar bersih tak ada rumputnya, Pak," jawabku sekenanya.

"Benar, Nak. Tujuan matun salah satunya untuk membersihkan rumput atau gulma yang tumbuh liar di sekitar tanaman padi. Kelak kalau kamu sudah menikah jika sudah punya anak jangan lupa anakmu diwatun, ya." Aku terperanjat kaget, bingung dan heran.

"Maksudnya, Pak?" Aku utarakan rasa penasaranku pada beliau maksudnya matun anak itu apa.

"Tanaman padi diwatun agar tumbuh dengan baik. Begitu juga anak saat tumbuh perlu diwatun agar ia menjadi anak yang baik tidak terganggu oleh gulma atau pemahaman liar yang tumbuh di sekitar," jelasnya. Ah, Bapak ada-ada saja, belum juga aku menikah sudah membahas matun anak. Aku merasa menemukan ilmu baru. Ilmu sederhana dari orang tua yang diajarkan lewat sepetak sawah. Tak terasa mataku berkaca-kaca menyimak ucapan Bapak.

Matahari semakin meninggi tepat di pusar cakrawala. Suara azan dari surau-surau pedesaan mulai terdengar saling bersahutan. Kami berdua pun beranjak pulang ke rumah melewati pematang sawah.

Beberapa hari kesibukanku kini hanya di sawah. Tak ada upah wong aku hanya mengharap sawah milik keluarga sendiri. Tapi banyak hal-hal berharga yang bagiku kini nilainya lebih dari sekedar harta benda. Tentang pengetahuan baru, tentang ilmu, tentang bagaimana leluhurku dan lain sebagainya.

Hingga musim panen tiba. Sepetak sawah milik Bapak dipanen oleh tetangga yang tidak memiliki sawah. Walaupun hanya sepetak sawah, tapi Bapak tetap saja mengerjakan orang lain. Kata beliau itung-itung membantu tetangga. Lagi-lagi aku benar-benar bodoh di hadapan Bapak. Andai waktu bisa diputar kembali mungkin satu bahu sawah Bapak tak akan aku pinta untuk dijual.

Bapak mengajarkan banyak hal. Dari bertani setidaknya dapat membuka lapangan pekerjaan walaupun hanya untuk tetangga sekitar. Bertani mengajarkan tentang merawat kehidupan; kehidupan tanaman padi, kehidupan masyarakat lain yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok, bahkan kehidupan hewan-hewan kecil yang bertempat tinggal di sawah.

Andai kelak sawah tiada lagi digantikan dengan gedung-gedung pencakar langit atau industri-industri yang mendatangkan polusi. Mungkin aku baru sadar bahwa bertani bukan sekedar tentang profesi mencari rezeki, bertani adalah budaya para leluhur yang diwariskan, yang seharusnya aku lestarikan. Dan bertani bukan sekedar menanam padi, tapi lebih dari itu; para petani adalah pahlawan negeri yang kini profesi bertani tidak terlalu diminati oleh para generasi muda-mudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun