Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hikayat Lelaki Bernama Rajul

24 Februari 2021   17:43 Diperbarui: 24 Februari 2021   17:46 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.

Entah sudah berapa kali Kang Amad selaku ketua keamanan pondok berurusan dengan Rajul, santri yang baru dua tahun di pondok ini sering melanggar qanun-qanun, mulai dari keluar pondok tanpa izin, alpa mengaji dan yang terakhir-terakhir ini Rajul ketahuan mencuri uang milik salah satu teman satu asrama. Saat disidang Rajul berjanji tidak akan mengulangi aksi pencuriannya, tapi janji tinggallah janji, nyatanya Rajul berulah kembali."Jujur! Uang siapa yang kamu curi?" Tanya Kang Amad saat sidang di kantor keamanan pondok.
Rajul terdiam.
"Jawab! Atau kamu saya sowankan ke Abah," bentak Kang Amad.
"Cu ... cuma uangnya Rohman," jawab Rajul dengan gemetar.
"Berapa uang Rohman yang kamu ambil?"
"Dua puluh ribu."
"Kamu tak ingatkah baru sebulan mencuri uang Rojak? Di mana janji kamu yang katanya tidak akan mengulangi mencuri?"
Rajul tertunduk. Mulutnya seakan terkunci tak keluar sepatah kata.
"Ingat, ya, sekali mencuri lagi kamu saya sowankan pada Abah. Dan takziran kamu kali ini harus mengisi tempat wudu santri-santri selama satu bulan."

Rajul menurut saja apa yang diperintahkan Kang Amad. Persidangan selesai dan Rajul kembali lagi ke asrama. Suasana pondok masih seperti biasa, beberapa anak-anak santri ada yang sibuk melafalkan hafalan-hafalannya, ada yang sibuk berdiskusi dengan teman sebayanya, ada pula yang cuma nongkrong di warung pondok menikmati secangkir kopi berpadu dengan racikan tembakau yang dilinting sendiri. Sedang di ndalem Abah Abdullah, beliau sedang ngaji bandungan kitab AL-hikam karya Syekh Ibnu Atthaillah.

Sebelum azan subuh berkumandang Rajul telah bangun dari tidurnya. Ia berjalan gontai menahan rasa kantuk yang masih melekat menuju ke tempat wudu para santri-santri. Sejurus kemudian ia mulai menimba air dalam sumur dan menuangkan ke bak tempat wudu, terus, terus menimba air dan terus hingga saat alunan tarhim berkumandang dari masjid pondok bak wudu telah terisi penuh. Bebrapa santri pun sebagian telah terbangun dari tidur dan langsung pergi ke tempat wudu. Setelah alunan tarhim selesai, alunan azan subuh pun berkumandang.

Habis salat subuh usai, Rajul terlihat duduk di belakang sambil menyandarkan tubuhnya di dinding masjid. Walaupun Kang Amad sebagai ketua keamanan pondok terkenal galak saat menyidang santri yang melangar peraturan-peraturan pondok, namun sebenarnya Kang Amad kasihan pada Rajul. Ia anak yang pintar, hanya saja bandel dan nakalnya yang membuat santri-santri lainnya jarang ada yang mau berteman dengannya. Akan tetapi sebandek-bandelnya Rajul jika ia menjalani hukuman akan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Pernah ada salah satu santri yang berbaik hati ingin membantu Rajul menimba air malah ditolak dan dimarahi oleh Rajul dengan dipisuhi. Keseharian Rajul di pondok sering terlihat sendiri. Kang Amad menghampiri Rajul yang masih duduk leyeh-leyeh dan mengajaknya untuk ke warung pondok.

"Mau kopi apa teh?" Tanya Kang Amad pada Rajul saat telah berada di dalam warung.
"Kopi saja, Kang," jawab Rajul.
Tidak menunggu lama dua cangkir kopi hitam telah jadi dan tersuguh di depan Rajul dan Kang Amad.
"Kalau pengin kopi tinggal bilang saja, Jul, jangan mencuri, ya."
"Iya, Kang."

Rajul menikmati secangkir kopi gratis traktiran Kang Amad ketua keamanan pondok yang tadi malam menyidang dirinya. Walaupun beberapa kali Rajul dibentak, tapi bentakan Kang Amad tak menbuatnya marah, benci atau sakit hati, serasa biasa saja, atau mungkin karena sudah sering disidang sehingga menjadi terbiasa, entah.

Mentari dari ufuk timur telah menampakan diri bertitah sesuai perintah Ilahi. Embun-embun bening yang sedari tadi memeluk punggung-punggung dedaunan pun beranjak pergi. Secangkir kopi yang mereka nikmati pun telah habis tinggal ampas kopi yang masih mengendap.
Waktu terus berlalu dan Rajul telah dua minggu menjalankan hukuman mengisi bak-bak wudu para santri. Kang Amad yakin hukuman mengisi bak tempat wudu selama satu bulan pasti akan membuat Rajul jera dan tidak akan mengulangi lagi untuk mencuri. Tidak seperti hukuman kasus pencurian Rajul sebelumnya yang cuma dihukum satu minggu untuk mengisi bak air wudu. Namun saat hukuman Rajul sampai pada hitungan dua puluh hari, salah satu santri asrama yang sama Rajul huni kehilangan uang. Kali ini uang yang hilang bukan hanya dua puluh atau tiga puluh ribu, tapi seratus ribu.

Mengetahui hal itu Kang Amad dan anak buahnya melakukan operasi penggeledahan di setiap lemari-lemari para santri dan harapannya Rajul tidak akan mencuri kembali, sirnalah sudah. Rajul terbukti kembali mencuri. Kang Amad sebenarnya marah sekali, tapi ia sadar, ia hanya bawahan yang ditugaskan untuk mengamankan santri-santri oleh Abah Abdullah. Maka kasus Rajul yang sudah berulang-kali ini akan ia pasrahkan saja pada Abah Abdullah untuk memboyongkannya[1]. Kang Amad langsung membawa Rajul menghadap untuk sowan pada Abah Abdullah.

"Ngapunten, Abah. Rajul ini sudah bebarapa kali ketahuan mencuri. Sudah beberapa kali dihukum, tapi tetap saja mencuri."
"Lah, terus bagaimana, Le?" Tanya Abah Abdullah.
"Ngapunten, Abah. Takziran-takziran pondok tidak membuatnya kapok. Mungkin lebih baik Rajul ini diboyongkan saja."
"Terus jika sudah diboyongkan apakah Rajul bakal tidak mencuri?"
Kang Amad terdiam dengan pertanyaan Abah Abdullah.
"Dahulu ada kisah lelaki yang sudah membunuh seratus orang. Kemudian lelaki tersebut bertobat. Tobatnya diterima Gusti Allah dan diampuni segala dosa-dosa pembunuhannya yang telah berjumlah seratus orang."
Kang Amad masih terdiam sambil tertunduk.
"Lah, Gusti Allah saja mengampuni hambanya yang berdosa melakukan pembunuhan hingga seratus orang, masa saya langsung murka dengan kesalahan santri-santriku. Ya, sudah si Rajul mulai hari ini tinggal bareng saya saja. Soal uang santri yang diambil Rajul biar nanti Abah ganti."

Apapun keputusan Abah, adalah keputusan mutlak yang harus ditaati bagi setiap santri. Kang Amad pun hanya sami'na wa atha'na dan mulai saat ini Rajul tinggal di ndalem Abah Abdullah. Namun, walaupun Rajul telah tinggal di ndalem ia tetap melaksanakan sisa hukuman untuk mengisi bak-bak tempat wudu para santri hingga hukumannya selesai. Setelah itu Rajul tak pernah lagi tampak batang hidungnya di komplek pondok. Jika ingin tahu Rajul, maka ia hanya bisa ditemui di ndalem Abah Abdullah yang letaknya agak jauh dari komplek pondok.

***

Bertahun-tahun Rajul menjadi abdi ndalem melayani apapun keperluan Abahnya, mulai dari membuatkan minuman jika ada tamu yang sowan di ndalem, membawakan kitab Abahnya jika Abahnya akan mengajar para santri, dan sering kali saat Abah Abdullah pergi untuk mengisi pengajian di berbagai daerah, Rajul pun ikut mendampingi. Bahkan semenjak Rajul diajari mengendarai mobil, kini ia telah menjadi sopir pribadi Abah.

Keadaan dalam komplek pondok pesantren telah berubah seiring berubahnya wajah sang tahun. Kang Amad yang dulu menjabat sebagai ketua keamanan pondok sudah lebih sepuluh tahun telah mukim[2] di kampung halamannya. Jabatan sebagai ketua keamanan pondok telah beberapa kali pindah tangan para santri, terganti dan terganti santri-santri lainnya seiring waktu yang terus berlalu.

Bagaimana kabar Rajul? Tentu ia telah menjadi lelaki dewasa yang saban harinya berada di ndalem Abahnya. Kini, Rajul dewasa benar-benar telah berubah watak dan sifatnya. Ia tak seperti saat kecil dulu yang malas untuk mengaji, bahkan seringkali saat Abah sakit atau ada urusan lain di luar pondok, Rajullah yang diperintah untuk menjadi badal[3] mengisi pengajian kitab Al-hikam yang di selenggarakan rutin setiap bada isya.

Hingga suatu saat tanpa diduga dan tanpa pernah terpintas dalam pikiran Rajul. Ia ditarik oleh Abah untuk menjadi menantunya. Awalnya Rajul menolak dengan halus. Rajul sadar siapa dirinya? Tak lain hanya santri nakal yang beruntung selalu diajari ilmu dengan kesabaran oleh Abahnya. Namun siapa yang dapat menolak keputusan Abah Abdullah? Akhirnya Rajul menikah dengan putri sekaligus anak tunggal Abahnya. Kini santri-santri tak lagi memanggil Rajul dengan sebutan Kang ataupun Cak, melainkan disebut dengan sebutan Gus Rajul, putra Abah Abdullah, pengasuh pondok dengan ribuan santri.

Belum sampai satu tahun umur pernikahan Gus Rajul dan Ning Aini, Abah Abdullah yang telah sepuh dan sering sakit-sakitan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa meninggalkan dunia fana untuk selama-lamanya. Ribuan santri berduka. Ribuan para alumni pondok pun turut hadir pada saat proses pemakaman jenazah Abah Abdullah. Pondok kehilangan sosok pengasuh dan jika ini diteruskan bisa jadi santri-santri seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Maka jalan satu-satunya adalah menjadikan Gus Rajul sebagai penerus pengasuh pondok sesuai wasiat Abah menjelang kematiannya.

***

"Braaak." Mobil yang saya kendarai menembus deras hujan malam saat perjalanan pulang dari kota J menabrak seorang perempuan yang tiba-tiba nyelonong dari gang perumahan padat penduduk. Seketika mobil saya hentikan dan langsung membuka pintu mobil keluar dan melihat perempuan yang mengenakan pakaian minim telah tergeletak bersimbah darah. Cepat-cepat saya meminta pertolongan warga sekitar yang mungkin telah lelap dalam tidur sebab jam telah menunjukan pukul 01:14 dini hari.
Kata sebagian warga perempuan tersebut adalah perempuan pekerja seks komersial di lokalisasi sekitar sini. Tapi saya tak peduli siapa dia, yang jelas saya harus bertanggung jawab sebab telah menabraknya.

Tubuh perempuan itu kini telah berada dalam mobil didampingi dua orang warga. Langsung saja saya nyalakan mesin mobil dan meluncur ke klinik terdekat. Sesampainya di klinik tubuh perempuan tersebut langsung dibawa oleh para perawat pada ruangan untuk segera mendapatkan pertolongan. Hingga hampir waktu subuh perempuan tersebut belum juga sadarkan diri, bahkan hingga saya selesai melaksanakan kewajiban salat subuh pun belum juga ada kabar tentang perempuan itu.

Baru sekitar pukul 06:34 seorang perawat datang menghampiri saya yang sedari tadi duduk di bangku tunggu, perawat memberi tahu bahwa perempuan yang tadi malam tertabrak mobilku telah siuman. Segera saya bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju kamar temat perempuan tersebut dirawat.

"Bagaimana keadaan panjenengan, Bu? Maaf tadi malam saya yang menabrak panjenengan. Tapi, saya berjanji akan bertanggung jawab semua biaya pengobatan panjenengan," ucapku pada perempuan yang masih tergeletak lemah dengan perban yang membalut keapalanya.
Perempuan tersebut hanya menatap dengan tatapan sayu dan lesu. Namun saat saya hendak pergi ia mengucapkan kata lirih yang hampir tak terdengar. Langkahku terhenti dan kembali berdiri disamping ranjang perempuan tersebut.

"Mungkin anda sudah tahu kalau saya perempun tuna susila. Tapi saya melakukan pekerjaan tesebut karena terpaksa untuk menghidupi anak saya. Tolong rawat anak saya yang berada di kontrakan seberang jalan kecelakaan tadi malam."
Belum sempat saya tanggapi ucapannya, perempuan tersebut terdiam bersamaan dengan terpejam matanya untuk selama-lamanya. Sesuai janji, saya akan bertanggung jawab, maka segala urusan memulangkan jenazah perempua ini pada kontrakan tempat ia tinggal, hingga merawat jenazah sampai selesai dikuburkan semua saya tanggung. Pun menjalankan apa yang almarhumah wasiatkan, ialah merawat anaknya. Saya ajak anaknya untuk tinggal dan nyantri di pondok yang saya asuh. Seorang anak lelaki yang bernama Rajul.

Catatan:
Boyong: boyong dalam istilah pesantren berarti pulang. Memboyongkan: dipulangkan.
Mukim: tinggal dalam kampung halaman, berumah tangga, tidak kembali ke pesantren lagi.
Badal: pengganti.

Wijayakusuma: 24-Februari-2k21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun