"Satu cangkir kopi jangan manis-manis, Kang," ucapku pada salah satu santri yang menjaga kantin pondok pesantren yang diasuh Kyai Brahim. Di luar kantin terlihat ratusan santri berlalu-lalang habis pulang ngaji. Ada lebih seribu santri di pondok Nurul Huda ini, baik putra ataupun putri. Salah satu santri yang masih berumur sekitar tujuh tahunan masuk ke kantin membeli jajanan. Melihat perawakan yang tak terlalu gemuk dan tak terlalu kurus, mengingatkanku pada masa kecil dulu. Ya, masa dulu hidup di kampung memiliki seorang tetangga yang ... Entahlah.
***
"Tolong ..., pergi kamu ..., jangan ganggu ..., dasar setan!" Jeritan tak jelas dari seorang wanita kembali terdengar memekakkan telinga kala tengah malam tiba. Keluargaku sebagai tetangga yang paling dekat tak habis pikir sebenarnya apa atau siapa yang membuat Mbok Ramijah, janda tua kaya raya itu berteriak-teriak tak jelas juntrungnya.
Pernah bapak menengok Mbok Ramijah yang sedang berteriak-teriak ketakutan seperti melihat setan. Tapi apa? Ternyata tak ada siapa-siapa, kecuali hanya Mbok Ramijah yang sedang menjerit sendiri dengan bayangannya. Semenjak awal  saat Mbok Ramijah ditinggal mati suaminya sampai sekitar enam bulanan ia seperti kehilangan akal waras dan depresi berat. Tak hanya itu, ia juga tidak memiliki keturunan, sehingga mungkin Mbok Ramijah tidak bisa menerima kenyataan yang ada, saat suaminya sebagai keluarga satu-satunya harus kembali pada Yang Maha Esa.
Kehidupan Mbok Ramijah yang tertutup, jarang bertegur sapa dengan penduduk dan yang lebih membuatnya seperti asing sebab dirinya sendiri yang seakan membuat sekat dengan warga lainnya pun dengan keluargaku sebagai tetangga. Kesibukan Mbok Ramijah dulu, saat suaminya, Mbah Daryo masih hidup, sehari-hari hanya membantu mengurusi berhektar-hektar lahan perkebunan mangga. Semenjak menjanda Mbok Ramijah jarang keluar rumah. Paling hanya sesekali terlihat membersihkan sekitar perkebunan mangga.
Almarhum Mbah Daryo di samping terkenal kaya raya juragan buah mangga, juga terkenal pelit soal harta. Saat panen mangga keluargaku sebagai tetangga pun boro-boro ikut merasakan buah mangga. Palingan aku yang dulu masih kecil mencari mangga jatuh di bawah sekitar pohon yang kadang menemukan mangga kalau tidak busuk, ya bekas dimakan kelelawar. Itu pun kalo Mbah Daryo tak tahu, kalau ketahuan sudah pasti aku dan teman-teman dimarahi habis-habisan, dikira mencuri mangganya. Semua mangga yang tumbuh berhektar-hektar oleh almarhum dijual pada pengulak yang langsung didatangkan dari kota. Hingga banyak para warga menyebut keluarga Mbok Ramijah dengan sebutan si pelit sundul langit. Soal harta secuil pun tak boleh pindah ke lain orang, kecuali diganti dengan rupa uang.
Menginjak satu tahunan lebih, kini Mbok Ramijah tak lagi berteriak-teriak tak jelas. Beliau berubah lebih banyak terdiam dan jarang sekali batang hidungnya kelihatan. Mungkin jika dihitung berapa kali Mbok Ramijah mau bertegur sapa? Jawabannya, satu kali. Itu pun pada saat hari raya. Orang-orang sudah tak heran dengan keanehan Mbok Ramijah. Satu dugaan warga yang paling kuat mengapa Mbok Ramijah dulu sering berteriak-teriak setelah kematian suaminya, karena kabar-kabarnya memang kekayaan harta Mbok Ramijah itu didapat dengan cara yang tidak benar. Kekayaannya ditempuh dengan jalan pesugihan. Oleh sebab itu ia sering berteriak-teriak akibat kualat dengan perilaku yang mereka perbuat. Tapi dugaan warga pun hanya perkiraan belaka yang tak ada satu pun warga yang mampu membuktikan, bahwa Mbok Ramijah pesugihan. Karena soal benar tidaknya hanya Mbok Ramijah dan Tuhan yang tahu.
Di antara warga hanya keluargaku yang paling peduli pada keadaan Mbok Ramijah. Tapi kepedulian keluargaku tak bertahan lama. Sebabnya memang saat orang tuaku sering menyambangi Mbok Ramijah waktu beliau teriak-teriak, keluargaku malah diusir olehnya. Dan perlakuan itu tak hanya satu kali atau dua kali, tapi telah berkali-kali. Mulai saat itulah keluargaku lepas tangan dengan keadaan Mbok Ramijah. Diajak berobat pun tak mau, didatangkan orang pintar malah semakin mengamuk tak jelas, melempar, mencakar, membanting apapun pun yang ada di sekitar. Benar-benar seperti orang yang kesurupan atau lebih tepatnya gila.
***
Musim mangga telah tiba. Kebun berhektar-hektar pohon mangga Mbok Ramijah pun kini mulai berbuah. Aku dan beberapa teman tak bisa menahan godaan mangga yang melambai-lambai seperti ingin dipetik. Seperti biasa aku dan teman-teman cuma mencari mangga yang jatuh. Belum juga dapat mangga matang jatuh yang utuh, dari jauh terlihat sosok wanita membawa bambu panjang. Dari cara berjalannya sudah pasti itu Mbok Ramijah. Otomatis aku dan teman-teman lalu lari berhamburan menyelamatkan diri.
Beberapa kali bapak selalu melarang aku mencari mangga yang jatuh. Katanya, "kalau pengin mangga nanti saja kalau bapak udah punya uang, langsung  beli ke Mbok Ramijah." Mungkin bapak tak enak berurusan dengan janda tua kaya raya itu, di samping beliau tetangga, juga bapak merasa kasihan dengannya yang kini hidup sebatang kara.
Namanya anak kecil. Apalagi dulu mangga seperti buah yang begitu nikmat, sebab memang aku jarang makan buah mangga, kecuali lagi musimnya saja. Paling di rumah kadang ada pisang matang, itu pun hanya dapat bagian betiti[1], kalau pisang yang besar-besar sudah pasti bapak jual.
"Han, ayo cari buah mangga," usul salah satu temanku saat kami kecapaian baru selesai bermain petak umpet.
"Tapi, aku tak boleh cari mangga oleh Bapak."
"Halah, Burhan, Burhan. Kita kan cuma cari mangga bukan mencuri." Imbuh dari teman lainnya.
Suasana siang yang panas ditambah baru selesai berlari-lari bermain petak umpet mendengar kata mangga benar-benar menggoda selera membuat aku hanya bisa menelan ludah. Tak bisa kutolak ajakan teman-teman. Langsung saja kami mencari mangga yang jatuh di kebun Mbok Ramijah. Beberapa kali aku dapat mangga matang yang sebagian sudah berlubang. Kami terus menyusuri kebun mangga, hingga makin dekat dengan rumah Mbok Ramijah. Beberapa kali aku minta untuk kembali saja pada teman lainnya, tapi lonjong-lonjong mangga jatuh yang tampak tergeletak jatuh di atas tanah seperti menyihir kami untuk meminta segera diambil.
Apes sudah. Sebab mata yang terlalu fokus mencari mangga jatuh, tak disadari Mbok Ramijah sudah berdiri dekat membawa bambu panjang. Satu temanku yang melihat langsung berlari sekencang mungkin. Sebagian juga dengan sekejap mata mengambil langkah seribu. Dan aku pun langsung ikut berlari, tapi, "grusuuukkkk." Aku tersandung akar pohon mangga yang muncul di permukaan tanah dan jatuh. Kulirik kakiku. Aduh, berdarah.
"Tidak usah lari, Han." Suara Mbok Ramijah yang berdiri tepat di sampingku membuat aku semakin ketakutan. Aku tetap mencoba berdiri untuk lari, tapi tangan Mbok Ramijah memenang pergelangan tanganku. Satu tangan Mbok Ramijah lainnya memegang bambu panjang.
"Kamu pengin buah mangga apa?" Tanyanya. Kutatap wajah keriput tua Mbok Ramijah. Tak kujawab.
"Kalau pengin mangga tinggal petik, Han. Ini bambu buat metik, cari mangga yang matang," sambungnya sambil ia berikan bambu panjang itu padaku.
"Mbok Ramijah tidak marah?"
"Marah buat apa toh? Udah sana dipetik mangga yang matang, ini wadahnya." Tangannya memberikan kantong keresek hitam padaku. Benar-benar aku tak menduga, aku mengira bakal dimarahi habis-habisan dan dipukul dengan bambu panjang yang dari kemarin-kemarin beliau pegang. Ternyata malah buat memetik mangga.
Tak lama dari jauh sosok lelaki datang saat aku sudah cukup memetik buah mangga yang matang-matang dan sedang menikmati di bawah pohon mangga bersamaan Mbok Ramijah. Lelaki itu, bapakku. Mungkin tadi sebagian teman ada yang melaporkan pada bapak kalau aku ditangkap oleh Mbok Ramijah. Saat bapak pertama melihat aku dan Mbok Ramijah akrab sedang menyantap mangga, tampak dari wajahnya guratan tak percaya. Bagaimana mungkin Mbok Ramijah, si pelit sundul langit mau berbagi buah-buah mangga kebunnya? Tapi semua ketidakpercayaan bapak seketika sirna, saat aku jelaskan semua dan Mbok Ramijah pun menawarkan bapak untuk ikut melahap kuning mangga yang matang.
Beberapa hari kemudian keluargaku dan Mbok Ramijah terlihat rukun. Bahkan Mbok Ramijah menganggap aku sebagai cucu angkatnya. Kini, saat aku berangkat sekolah Mbok Ramijah sering memberi uang saku 100 rupiah. Biasanya saat istirahat 50 rupiah aku belikan es lilin dan yang 50 sisanya bisa  buat beli gorengan. Namun, tak lama, bahkan musim mangga pun belum usai. Mbok Ramijah jatuh sakit. Keluargakulah yang mengurus Mbok Ramijah. Beberapa hari Mbok Ramijah masih sakit bahkan bertambah parah. Bapak berulang kali merayu Mbok Ramijah untuk berobat, tapi selalu beliau tolak. Suatu hari Mbok Ramijah memintaku untuk memanggil bapak. Tak lama bapak pun datang.
"Mat, sini saya mau cerita," panggil wanita tua yang kini terbujur tak berdaya pada bapakku, Ahmat. Bapak pun mendekat dan duduk di kursi kayu samping ranjang.
"Iya, bagaimana, Mbok?"
"Saya ingin cerita, Mat. Dulu pas si Mbok sering teriak-teriak, itu karena si Mbok melihat almarhum Mbah Daryo datang ke rumah sambil merangkak. Tapi keadaan beliau sungguh menyedihkan, lehernya terikat rantai yang menyala-nyala api. Rantai tersebut dipegang oleh makhluk besar hitam sambil mencambuk almarhum. Si Mbok berteriak setan-setan, minta tolong, tapi semua orang tak ada yang tahu apa yang si Mbok lihat, malah si Mbok dengar orang-orang mengira melakukan pesugihan, semua itu fitnah, Mat." Bening tetes air mata mengalir di pipi keriput Mbok Ramijah. Bapak hanya terdiam menunduk mendengarnya cerita Mbok Ramijah, hingga si janda tua itu melanjutkan, "mat, nanti jika saya mati, maka semua tanah saya wakafkan untuk bangun pondok pesantren. Berilah nama pesantrennya dengan nama Nurul Huda. Semoga dengan nama Nurul Huda kelak menjadi cahaya petunjuk yang menunjukkan saya dan Mbah Daryo pada keridhaan Gusti Allah." Mbok Ramijah berhenti bicara. Nafasnya naik-turun seperti sesak ... dan, beliau pulang menemui kekasihnya dalam surga, Mbah Daryo.
Catatan:
1.Betiti: buah pisang kecil di ujung tandan.
Cilacap:19-02-21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H