Pelan ku turunkan kaki dari mobil. Persendian seluruh tubuh serasa lumpuh. Hati ini serasa dipanahi ribuan duri-duri. Ada apa ini? Bendera kuning? Kematian kah? Siapa yang meninggal?
Saat langkahku sampai di muka pintu. Ibu mertuaku berlari menghambur memelukku sambil terisak tangis yang teramat pilu. Aku terdiam, mematung, tak berdaya dan perlahan beliau lirih bisikan kata yang memecah gendang telinga, mengoyak hening jiwa, meluluhlantakkan rajut asa. Lirih, sangat lirih, namun bak sambaran petir di siang hari.
"Ais ... Aisyah, Nduk. Aisyah telah tiada".
Seketika dunia menjadi gelap gulita. Ragaku luruh tak sadarkan diri. Aku pingsan. Ingin saja aku yang mati, Ya Rabbi! Bukan dia si kecil yang baru menatap dunia. Kini, luka ini menganga abadi, selamanya.
Aisyah ... Aisyah, bangun, Anakku. Mama belikan Aisyah baju baru. Baju baru buat bidadari Aisyah pakai saat lebaran. Baju baru putih berlapis tujuh ... Kain kafan.
Ku tatap senja kali ini. Kosong, tak ada arti. Bening air mata masih terus menganak sungai di pipi. Tak ada lagi warna dalam hati. Gelap, sunyi, sepi bak istana ditinggal pergi. Ku rangkul nisan pusara Aisyah yang berada di samping pusara almarhum suamiku. Sebait bisik doa terucap tanpa suara, "Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah, Irji'i ilaa rabbiki raa dhiyatam mardhiyyah, Fadkhuli fii 'ibadi, wadkhuli janaati"
Catatan:
Nduk: Panggilan untuk anak perempuan.
Si Mbah/Mbah Putri: Nenek.
Kesugihan: 13-Februari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H