"Buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya,
Watak seseorang tak akan jauh dari orang tuanya."
Benarkah begitu? Benarkah makhluk yang bernama manusia hanya sebatas disamakan dengan buah apel?. Menjadi manusia apa dan bagaimana siapa yang tahu. Semua adalah takdir dari Yang Maha Esa.
Salah kaprah atau bahkan telah menjadi budaya dalam masyarakat kita, ketika seorang anak melakukan perbuatan buruk maka, orang tua akan menjadi tolak ukur mengapa anak tersebut melakukan perbuatan keji.
[Ya pantes lah, wong orang tuanya juga begitu]
[Anak, ya tidak akan jauh dari sifat orang tuanya] dan prediksi-prediksi lainnya.
Sebenarnya ke-sok-tauan tersebut merupakan ke-gegabah-an dan terlalu melampaui batas wilayah manusia antar manusia menilai hal yang sebenarnya itu termasuk hak prerogatif Yang Makakuasa. Karena dalam tatanan hablumminannas penilaian yang bersifat men-judge merupakan kesalahan fatal dan penilaian yang hanya beralas praduga merupakan ke-sembronoan.
Terus bagaimana jika nyatanya dia memang benar melakukan hal keji? Benar ataupun tidaknya dia sebagai pelaku maka, orang lain tak mempunyai wilayah (kekuasaan) untuk berkata "oh si A si B ini bla-bla-bla). Tuhan Yang Maha Esa telah menyediakan ruang husnudlan, sebuah ruang agar kita bisa selalu positif thinking terhadap orang lain.
Bisa jadi mereka yang kini menjadi musuh kelak malah menjadi kawan yang akrab. Bisa jadi mereka yang kini masih bergumul dalam dosa kelak menjadi manusia yang baik, malah kebaikannya melebihi kebaikan kita.
"Jadi menilai manusia tidak bisa hanya dianalogikan dengan buah apel, Kang" tanya Kang Rojak. Jelas, jelas tak bisa hanya dianalogikan dengan buah apel.
Ingat kala Nabi Muhammad S.A.W berdakwah di Thaif? Apa perlakuan bangsa Thaif? Nabi dilempari batu, dilempari kotoran, dicaci-maki bahkan diusir. Lalu datanglah malaikat Jibril menawarkan jasa untuk meluluhlantakkan bangsa Thaif, apa jawaban Nabi? Beliau malah mengharapkan Allah akan menciptakan generasi bertakwa yang lahir dari tulang rusuk masyarakat Thaif.
Apa lagi? Cerita sahabat Umar bin Khattab saat beliau belum memeluk agama Islam, bagaimana beliau sangat keras menentang Islam. Lalu dengan barakah doa Nabi - "Ya Allah, muliakan agama Islam ini dengan salah satu diantara dua Umar. Umar bin Khattab atau Amru bin Hisyam" - akhirnya Umar bin Khattab masuk Islam dan keislaman beliau menjadi pintu Islam berkembang di Umm al Qura (Mekkah).
Dan sifat Nabi yang terkesan 'lemah' terhadap bangsa Thaif lah yang kini ditiru oleh kebanyakan Ulama Ahlusunah wal Jama'ah An-nahdliyyah. Ulama-ulama dan Kyai NU (Nahdatul Ulama) menyikapi orang yang tidak se-akidah cukup lakum dinnukum waliyyadin. Gita aja kok repot.
Plat R, 1611'19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H