Akad mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara 2 (dua) pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal pembiayaan (shahibul mal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dana (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila mengalami kerugian maka kerugian ditanggung shahibul mal (pemilik modal) selama hal itu bukan akibat kelalaian mudharib. Sedangkan biaya operasional untuk pengelolaan usaha dibebankan kepada mudharib.
Dalam akad mudharabah, mudharib dalam hal ini nasabah sebagai pengelola dana tidak mempunyai kewajiban untuk menanggung risiko kerugian yang timbul. Beban kerugian hanya dapat dibebankan kepada mudharib apabila kerugian tersebut karena kelalaian dan kecurangan yang dilakukan.
Untuk menghadapi kemungkinan risiko pembiayaan, bank syariah diperkenankan meminta agunan kepada pengelola dana (mudharib). Perbankan syariah dapat melakukan pengawasan baik secara aktif maupun secara pasif. Pengawasan secara aktif dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap operasional maupun berkas-berkas nasabah. Sedangkan pengawasan secara pasif, dapat dilakuan dengan menerima laporan dari nasabah.
Dalam akad mudharabah, bank tidak diperkenankan ikut campur dalam pengelolaan usaha. Adanya ketentuan ini menyebabkan bank menghadapi risiko yang sangat tinggi karena seluruh kerugian akan ditanggung bank sebagai shahibul mal (investor) kecuali terbukti bahwa kerugian tersebut merupakan kelalaian yang disengaja oleh mudharib. Bank akan menghadapi risiko semakin tinggi akibat adanya moral hazard oleh mudharib. Berkenaan dengan itu, bank syariah dapat meminta jaminan kepada mudharib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H