Mohon tunggu...
Muhammad Islahuddin
Muhammad Islahuddin Mohon Tunggu... -

ilmiah, rasional dan religius, islami adalah harapan saya. beberapa hal lain mungkin 'semestinya' disandingkan, namun keduanya sudah cukup representatif menurut saya. senang berolahraga: sepakbola, bulutangkis, beladiri; mendalami sains dan agama; serta berperan aktif dan memperhatikan lingkungan sekitar adalah keharusan untuk keseimbangan jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ah, Alasan Aja Loe Jang... (1): Tangis Ibu

19 April 2010   13:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini terinspirasi dari komentar di tulisan saya sebelumnya, Diketawain Bule, "ah.. itu cuma alasan, mas. ... dasarnya orang indonesia yg males jalan, kurang menghargai tanah airnya dengan berbagai alasan yg dikemas karena inilah itulah hehehe.." (hayoo sapa yg ngerasa? :) ). Sekarang saya ingin sedikit mengupasnya lebih lanjut. Berikut ini hanya contoh sederhana, mohon dipahami intinya secara lebih luas. Tidak lain, untuk lebih memahami sikap dan perilaku orang lain yang timbul dari situasi dan kondisi yang dialami. Dialog dalam bahasa Sunda, sesuai dengan settingan tempatnya. Terjemahannya ada di dalam tanda kurung setelahnya. [caption id="attachment_120475" align="alignright" width="300" caption="nuansa di kaki gunung /own pict."][/caption] Alkisah, di kaki gunung Cereme (Ceremai) hidup seorang anak lelaki putih bersih, Ujang namanya. Ya, hidup dinaungi rindangnya pepohonan dan sejuknya pegunungan membuat kulitnya putih dan bersih sebagaimana umumnya orang-orang disana. Abah (ayah) nya sudah mewariskan status yatim kepadanya sejak bangku sekolah dasar kelas 1. Hari2nya dijalani bertiga bersama umi (ibu) dan kakaknya, hidup dari uang pensiunan abahnya yang dulu adalah seorang guru. Sepulang sekolah, dia habiskan waktu untuk bermain bersama teman-teman sebayanya. Bermain bersama, permainan 'ucing sumput' (petak umpet), 'ucing2an' (kejar2an), 'ngadu kaleci' (maen kelereng), dan banyak lagi permainan anak desa pada umumnya. Tentu saja mereka tidak mengenal yang namanya nintendo atau sega yang sudah marak di perkotaan saat itu. Tidak jarang ia juga ikut membantu uminya mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu, mencari kayu, ngala cai (mengangkut air dari suatu tempat ke rumah), dll. Malam harinya, ia mengaji di rumah pak kyai bersama puluhan anak2 lainnya. Ia mendapat perhatian khusus dari pak kyai, karena ia adalah anak yatim, dan anak dari seorang ayah yang sangat ta'dzim kepada ulama. Salah satu pesan akhlak yang selalu pak kyai tanamkan adalah "Khairun naas, anfa'uhum lin naas..!" (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya). "Hidep, sing tiasa nyandak manfaat keur batur, ulah sakali-kali mere madarat.. boh manfaat ku elmu, ku harta, atawa ku tanaga.. ku naon wae sabisa hidep.. minimal ulah milaraan batur.." (anak2ku, kalian harus bisa memberi manfaat ke orang lain, jangan sekali-kali mencelakai yang lain.. apakah manfaat dengan ilmu, dg harta, atau dg tenaga.. dengan apa saja semampu kalian.. minimal jangan merugikan orang lain.. ) Sewajarnya anak-anak, dia tetap ceria dan merasa semuanya baik-baik saja, menyenangkan. Walau kadang sering menangis kalau rindu sama abahnya, "Mi, hoyong ka abah... Abaaahh..! Abaaahh..!" (Bu, pengen ketemu ayah.. Aayaaahh..! Aayaaahh..!), teriak Ujang dalam tangisannya. Rindu akan ayahnya yang selalu menggendongnya pergi tidur. Ujang memang sejak kecil suka ditelonin sama ayahnya, terlelap tidur dalam dekapan sayang ayahnya itu. Ibunya hanya bisa memeluk dan mengelus-ngelus anaknya itu, hingga ia tertidur dalam isak tangisnya. Beruntung, ibunya bisa merubah kesedihan dan keinginan-keinginan Ujang yang tak bisa dipenuhinya menjadi harapan dan cita-citanya kelak. Dengan lembut dan penuh kasih sayang seorang ibu, ia berkata "Jang, saur abah.. Ujang kedah tiasa langkung sae tibatan abah.. upami abah janten guru, Ujang kedah tiasa janten guruna guru" (Jang, kata ayah.. Ujang harus bisa lebih baik dari ayah.. kalau ayah jadi guru, Ujang harus bisa jadi gurunya guru), wasiat ayahnya agar lebih baik dari orang tua, agar selalu lebih baik dari hari ke hari. "Upami Ujang tos sugema, engke Ujang tiasa emam daging unggal dinten, tiasa meser acuk unggal lebaran, tiasa ameng ka kebon binatang.. Umi mah teu tiasa masihan naon anu Ujang hoyong..." (Kalau Ujang sudah sukses, nanti Ujang bisa makan daging setiap hari, bisa beli baju setiap lebaran, bisa jalan2 ke kebun binatang.. Umi tidak bisa memberi apa yang Ujang mau sekarang...), tutur ibunya sambil berlinang air mata. Kesedihan dan rasa bersalah menyayat hatinya, tidak bisa mencukupi keinginan Ujang, walau hanya untuk makan daging yang hanya menunggu Idul Qurban datang. Walau hanya baju lebaran atau sekadar jalan2 ke kebun binatang yang tidak seberapa. "Jang, Umi mung tiasa ngadu'akeun.. mudah-mudahan Ujang tiasa sukses, bari shaleh, pinter sareng berehan.. ulah hilap ka batur anu butuh, kawas urang ayeuna..." (Jang, Umi hanya tiasa mendo'akan.. mudah-mudahan Ujang bisa sukses, dan juga shaleh, pintar, dan dermawan.. jangan lupa sama orang lain yang kekurangan, seperti kita sekarang ini..), tangisannya semakin menjadi-jadi, walau ia tahan dalam hati. Tak ingin ia membebani anaknya itu dengan penderitaan, biarlah dia tumbuh dalam semangat dan cita-cita. "Ayeuna mah, jep! ulah nangis wae.. sing getol sakola, getol ngapalkeun, getol ngaos.. sing tiasa sakola ka kota.. ulah hilap teras2 ngadu'a" (Sekarang, Ujang jangan nangis lagi.. rajin2lah sekolah, rajin belajar, rajin mengaji.. harus bisa sekolah ke kota.. jangan lupa untuk terus berdo'a). "Keun we biaya mah, Umi nu ngemutan.. urang mah gaduh Alloh, insya Alloh nanaon ge dicekapan.. asal aya kahoyong.." (Jangan risau masalah biaya, biar Umi yang nanggung.. kita punya Allah, insya Allah apapun akan dicukupi.. asal punya keinginan), sambil berdo'a dalam hati. Begitulah kuatnya keyakinan ibunya yang memang lulusan pesantren di desa sebelah. Walaupun belum tahu apa yang harus ia lakukan untuk memenuhi biaya sekolah anaknya itu kelak, namun ia yakin sepenuhnya akan kuasa Nya. "Duug..! bobo..!" (tidurlah nak..!),  "sing sholeh, pinter, tiasa nulungan batur, bagja dunya akherat.." (semoga sholeh, pintar, bisa menolong orang lain, bahagia dunia dan akhirat..) jeritan harapan dan do'a seorang ibu dalam pejaman mata Ujang yang sudah terlelap tidur dalam pelukannya. --- ( bersambung ) ---

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun