Mohon tunggu...
Iskra Malaya
Iskra Malaya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memulai Isu SARA, Ahok Biang Perpecahan Bangsa

15 November 2016   11:27 Diperbarui: 29 Juli 2017   07:13 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: istimewa | @pemprovDKI

Sedikit sekali yang sadar, bahwa Ahok menutupi masalah KKN dirinya dengan memulai menebar isu SARA Al Maidah. Akibatnya masyarakat tidak kunjung paham, bahwa Ahok sebenarnya juga memiliki masalah di Kasus Dana Offbudget, Pembelian Lahan Sumber Waras, Reklamasi Teluk Jakarta, Pengadaan Bus Scania, Pembelian Lahan Cengkareng, dsb. Isu SARA Ahok menjadi menyita perhatian kita semua. Sebagai taktik politik, isu ini sukses. Isu KKN Ahok pun kempis. 

Pada tanggal 27 September 2016, Ahok menebar pidatonya yang memercikkan isu SARA. Masalah video itu diunggah ke internet oleh Pemda DKI dan kemudian direproduksi oleh Buni Yani, tidaklah penting. Yang penting adalah Ahok telah melakukan penistaan Agama dan kemudian dirinya pun sudah minta maaf kepada Umat Agama tersebut.

Namun Umat ternyata tetap marah dan organisasi-organisasi Keumatan melakukan aksi massa besar pada tanggal 4 November 2016 (disebut juga: 4 11). Aksi ini sukses mengumpulkan lebih dari 200 ribu massa di Jakarta. Sebagian besar orang menjadi tercengang melihat jumlah massa aksi 4 11 yang demikian besar. Banyak yang tak menyangka, bahwa isu Agama semacam ini dapat menggerakkan sedemikian banyak orang. 

Tapi fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Masyarakat Indonesia memang sudah sejak dahulu mudah digerakkan melalui isu penistaan Agama. Berbagai penelitian para pemikir sosial dari Eropa dan Amerika juga telah mengidentifikasi bahwa Agama (selain Tradisi) adalah isu yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia sejak dahulu.  

Sejarah pernah mencatat hampir seabad yang lalu, pada awal tahun 1918 di Surabaya juga pernah terjadi aksi massa dengan tema yang mirip yang dipimpin oleh Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Aksi tersebut menuntut pemerintah Kolonial Belanda untuk menghukum Martodharsono dan Djojodikoro yang diduga telah melakukan penistaan agama, atas artikel yang ditulis di sebuah surat kabar.

Diperkirakan jumlah massa aksi yang memadati Kota Surabaya saat itu mencapai 35 ribu orang. Suatu jumlah yang mungkin menyamai aksi 4 11, bila diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia (Hindia Belanda) saat tahun 1918 kurang dari 50 juta jiwa (saat ini 230an juta).     

Sedikit berkisah tentang HOS Tjokroaminoto, ketua umum Serikat Islam yang juga dianggap sebagai Ratu Adil (Eru Tjakra) bagi sebagian masyarakat Jawa. Pada masa itu HOS Tjokroaminoto adalah guru bagi para tokoh pergerakan awal, hingga salah satunya menjadi guru sekaligus mertua dari Sukarno muda.

Ajaran inti dari HOS Tjokroaminoto kepada Sukarno muda adalah tentang persatuan dari tiga filsafat besar dunia: Islam, Nasionalisme, dan Sosialisme. Ajaran ini yang tampaknya kemudian mengembang bertahun-tahun bersama Sukarno menjadi Pancasila, ideologi Bangsa Indonesia yang akan merdeka di tahun 1945.

Kini setelah 71 tahun Merdeka, dengan merebaknya kasus SARA yang dipicu Ahok, masih ada pihak-pihak yang keblinger membela Ahok seolah Ahok adalah simbol dari Pancasila. Justu pembelaan yang naif ini berasal dari para politisi dari partai yang mengaku meneruskan ajaran Sukarno dan Pancasila 1 Juni 1945. Dikatakan oleh mereka, bila meminta Ahok dihukum artinya kita tidak menghargai Kebhinekaan Tunggal Ika, dsb.

Padahal tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar. Oleh rakyat DKI Jakarta, Ahok sudah diberikan jalan untuk memimpin bersama Jokowi sejak 2012. Dua tahun lamanya Ibukota Jakarta dipimpin oleh Gubernur dari kalangan minoritas Tionghoa-Kristen seperti Ahok. Dua tahun si Gubernur menggusur ratusan titik pemukiman masyarakat miskin di Jakarta, kemudian menyerahkan tanahnya pada kapitalis yang seetnis dengannya. Sehingga banyak perlawanan dari kalangan multietnis di DKI terhadapnya.

Kemudian, bila si Gubernur dari kalangan minoritas tersebut berpidato di depan publik menghina Agama lain, apakah masih pantas sebagai simbol Pancasila dan Kebhinekaan?

Sila Ketuhanan ditempatkan di urutan pertama Sila Pancasila adalah penghormatan khusus dari Sukarno kepada Filsafat Agama yang menaungi seluruh Rakyat Indonesia dari ujung Aceh hingga Papua. Sila ini adalah penghargaan kepada seluruh Agama dan Kepercayaan yang Dianut Rakyat Indonesia yang bhineka.

Tentu menghormati Agama bukan dengan cara merendahkan atau bahkan menghina ajaran Agama tersebut seperti yang dilakukan Ahok pada 27 September 2016. Ahok jelas telah melanggar Sila Ketuhanan.

Namun, bila masih ada pihak-pihak yang coba mempertahankan Ahok. Masih terus menganggap apa yang dilakukan Ahok sudah sesuai dengan Pancasila, mereka harus berpikir ulang dengan jernih. Karena nanti Pancasila tidak akan lagi dihargai masyarakat sebagai pemersatu Bangsa, terutama bagi para penganut Agama.

Bagi Ahok dan para pendukung fanatiknya memang perang ini adalah perang kolosal, tapi bagi Bangsa Indonesia sikap mempertahankan Ahok dapat berujung pada situasi yang fatal. Belajarlah dari sejarah perjalanan Bangsa. Terlalu mahal rasanya masa depan Bangsa dipertaruhkan, pecah hanya gara-gara satu orang Ahok.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun