Duh, kasihan sekali. Baru pertama kalinya kami melihat ada gubernur yang sedang cuti kampanye, dikejar-kejar demo masyarakat justru saat sedang berkampanye. Baru terjadi di Jakarta beberapa hari lalu.
Ahok wajar tertimpa musibah itu. Dirinya telah bicara ceplas-ceplos tentang Agama. Kemarin-kemarin Ahok juga bicara ceplas-ceplos tentang masalah yang lain, seperti pemerintahan, korupsi, dan hukum, tapi masyarakat masih menilai wajar. Tapi begitu Ahok kebablasan di isu SARA, masyarakat bereaksi. Terwujud dalam demonstrasi besar 4 November 2016, hari ini.
Tujuan dari demonstrasi adalah memaksa penegak hukum memproses Ahok, seperti kasus serupa di Yogyakarta (menimpa budayawan Arswendo), dan di Bali. Sekedar permintaan maaf tidak akan menyelesaikan persoalan. Seorang nenek yang didakwa mencuri beberapa batang kayu saja tetap dipenjara walaupun telah minta maaf. Sebagai warga negara Indonesia, Ahok tetap harus dimajukan ke pengadilan agar terbukti salah atau benarnya perbuatannya di muka hukum.
Tapi ternyata ada hal lain di balik kasus SARA Ahok. Tulisan Andika Purnama di media sosial, mencurigai bahwa rekaman di Pulau Seribu sengaja dikeluarkan bersamaan waktunya untuk meredam isu yang lain.
Isu tersebut adalah pernyataan dari Ketua KPK Agus Rahardjo tentang dugaan pelanggaran hukum Ahok terkait dana kontribusi Reklamasi. Diduga kuat Ahok sengaja mencoba mengalihkan perhatian publik dari pentingnya pernyataan Ketua KPK, tentang potensi pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok di dana kontribusi Reklamasi.
Dalam kasus dana non-budgeter ini, Ahok secara terang benderang melawan hukum. Setidaknya dua undang-undang yang berkaitan dengan keuangan negara telah dilawan Ahok, yaitu UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara. Dengan melakukan pembiayaan non-budgeter, Ahok telah mengembalikan pola pembiayaan era Orde Baru yang berpotensi korup. Saat dana yang masuk kantong pemerintah dikelola tanpa transparansi dan akuntabilitas kepada rakyat lewat wakil-wakilnya di parlemen.
Selain kasus dana Reklamasi, ada lagi masalah korupsi dana yayasan RS Sumber Waras yang juga menunggu Ahok. Selama ini para pengamat dan juga media hanya terpaku pada selisih harga jual lahan, padahal masalah sebenarnya dari kasus Sumber Waras adalah tentang dana Rp 400 miliar dalam tiga buah cek tunai yang belum masuk ke yayasan. Di sini seharusnya Ketua PPATK dapat masuk dan mulai menelusuri ke mana larinya tiga cek tersebut? Siapa yang menguangkan? Dan ada hubungan apa si oknum ini dengan Ahok?
Ada juga kasus Bus Scania. Ahok juga harus menjelaskan kepada publik, kenapa dalam pengadaan bus-bus merk Scania (rekanan Astra Internasional dan United Tractor/UT) dilakukan dengan penunjukan langsung? Padahal nilai proyek sangat besar, mencapai Rp 2 triliun. Ahok juga harus menjelaskan, mengapa mengangkat sahabat sejak SMA dari Belitung menjadi dirut dari BUMD Transjakarta (yang mengadakan bus-bus Scania tersebut)? Kebetulan sekali, si sahabat tersebut merupakan petinggi bidang pemasaran di United Tractor -Grup Astra Internasional sebelum diangkat Ahok jadi dirut BUMD Transjakarta.
Apalagi belum lama ini -dengan sangat mengejutkan- pelaksana tugas Gubernur DKI Sumarsono membatalkan proyek-proyek yang era Ahok. Jelas ada masalah dengan cara Ahok menjalankan pemerintahan bersih dan baik. Pun, ternyata Pemda DKI hanya masuk peringkat 18 dalam aspek Akuntabilitas, versi Menpan RB.
Terbukti dari berbagai kasus di atas, Ahok memang bukan dewa yang anti korupsi seperti yang dielu-elukan orang selama ini. Sebaiknya, satu-satunya lembaga yang pernah memberi penghargaan anti korupsi kepada Ahok, yaitu Yayasan Bung Hatta, meninjau kembali penghargaan tersebut. Jelas sudah, dulu publik tertipu saat Ahok meneriaki para politisi parlemen sebagai politisi korup. Ternyata semua itu hanya aksi “maling teriak maling” dari Ahok.
Kita jadi bertanya-tanya, bagaimana nasib Ahok setelah demonstrasi besar menuntut Ahok dihukum dalam kasus penistaan agama? Hidupnya pasti tidak akan tenang. Karena dirinya selain menjadi musuh umat Islam di Jakarta, Indonesia, dan luar negeri, juga akan menjadi incaran aparat pemberantas tindak pidana korupsi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H