Saya terinspirasi dari seorang sahabat saya yang sekarang menjadi wakil rakyat. Kata sahabat saya itu, bahwa caleg (mungkin juga cabup) itu ibarat durian dan kedondong.
Panjang lebar dia menjelaskan pikiran-pikirannya, akhirnya dia bilang : saya ini bukan penulis, tidak bisa merangkaikan pikiran-pikiran saya sehingga menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca orang. Kalau kamupasti bisa.
Karena inspirasi yang menarik, ya…sekembali saya ke rumah, langsung saja saya menekan tombol komputer dan mulai menulis dengan judul diatas.
Durian itu sudah diketahui oleh para pembaca. Kulitnya berduri. Kalau saja durian jatuh pas di kepala manusia,betapa menyakitkan dan entah jadi apa kepala yang kitaandalkan ini. Membelah durian pun harus ekstra hati-hati. Kalau sembarang membelah durian, maka akan fatal. Bisa-bisa tangan kita akan mengalami luka.
Tapi, isinya sangat jauh berbeda dengan kulit.Durian. diakui memiliki rasa yang sangat lezat.
Bagaimana pula dengan kedondong. Kebalikan dengan durian. Kulitnya licin, mengkilap. Tapi, rasanya asam. Isinya banyak serat, seperti duri.
Kira-kira seperti itu para caleg yang kemarin bertarung dalam pemilu. Masing-masing tampil dengan gayanya yang memukau. Masing-masing tampil dengan janjinya yang muluk-muluk. Semua berbicara pelayanan kesehatan gratis, KTP gratis, peendidikan gratis. Yang mereka tidak berani janjikan hanya pajak gratis. Sebab, kalau pajak gratis maka negara pasti tidak akan terurus. Kan orang bilang bahwa pajak adalah ongkos peradaban. Bagaiamana pula hendak membangun peradaban tanpa ongkos.
Mereka datang dengan mobil dan motor. Langsung-langsung parkir kendaraannya dekat dapur. Semua orang disapa. Diakui masih keluarga, masih bekas tetangga rumah, tetangga kebun. Mengakui kenal nenek, kakek buyut, paman, sepupu – terhadap siapaun yang menjadi lawan bicara.
Eh, setelah berhasil memungut suara rakyat, jangankan menyapa. Sudah bolak-balik ke kantor menemui, bolak balik datang ke rumah hendak silaturahmi – hanya dilayani para “penjaga” .
“Perlu apa ? Boss capek. Bilang saja apa perlunya. “ kira-kira begitu layanan para “penjaga”
Surat rakyat sudah berminggu-minggu dilayangkan, sudah ditanya berkali-kali dengan menemui langsung – jawabannya tak jelas. Di sms, tidak ada balasan. Mungkin saja menganggap bahwa kalau rakyat hanya sms, itusesuatu yang tidak sopan terhadap pejabat penting, ya… sedikit feodal lah.
Kalau di telpon, kadang diangkat juga – tapi, sedikit acuh. “Oh ia. Gampang dik. Nanti kita bahas dulu. Masih sibuk urus banggar, masih sibuk urus pembentukan komisi, masih di Jakarta perjalanan jalan-jalan.
Nah, seperti itu kira-kira yang dimaksud sahabat saya dengan calegyang menganut filosofi kedondong. Bagus di kulit, tapi buruk isinya.
Kemudian, seperti apa pula caleg durian? Gampang sekali penjelasannaya. Artinya, caleg durian itu mungkin tidak begitu banyak retorika, tidak banyak mulu manis, tidak memiliki uang banyak, tidak menyebarkan janji-janji, tidak memfitnah sesama caleg, tidak bergaya parlente.
Setelah menjadi wakil rakyat, dia betul-betul memegang amanah rakyat, tidak sombong, tidak angkuh, tidak korupsi, tidak mentang-mentang. Tindak-tanduknya terpuji, ibarat durian, sangat lezat rasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H