Di pagi hari, seorang anak kecil bermain di pinggiran Kalideres Tangerang Selatan. Melontarkan sebuah batu ke arah kali. Acuh tak acuh dengan omongan orang yang ada di sekitarnya. Petir yang diiringi suara gemuruh saling bersahutan di langit, serta gerimis sudah membasahi badannya, dan sepertinya hujan akan turun deras pagi ini.
"Dina, kau dari mana? Kenapa basah?" Sang ibu mulai mengoceh. "Udah beratus kali ibu bilang sama kau nak, jangan sering-sering main hujan. Nanti kau sakit aku juga yang repot kau buat."
Dina bengong dan mengagah di hadapan ibunya. Sedikit heran, sedangkan ibunya baru kali sepuluh melarangnya untuk tidak main hujan. "Tadi aku main di Pasar Semanan Kalideres, terus hujan datang dengan tiba-tiba membasahi tubuhku. Yasudah, aku langsung melarikan diri. Ehh sampai di rumah badanku basah. Begitu bu." Dina mencoba untuk menjelaskan kepada ibunya. Namun tetap saja ibu Dina tidak percaya dengan penjelasan yang di jabarkannya.
"Yasudah, ibu gak mau tau dengan alasan kau itu. Sekarang kau pergi mandi terus ganti bajumu. Kalau kau sakit nanti aku yang repot." Sedikit ocehan yang diterima Dina.
Kemudian ia melangkahkan kakinya di jalan setapak yang tak begitu luas menuju ke arah kamar mandi. Lagi-lagi ia merasa kesal dengan hidupnya. Hampir tiap hari ia selalu menahan rasa sakit batin oleh ucapan ibunya tersebut.
Akhirnya setelah selesai mandi, ia mencoba menanyakan hal tersebut kepada ibunya karena rasa penasaran yang telah menumpuk di dalam batinnya. Tampaknya tengah terburu-buru untuk menghampi ibunya di dapur, sehingga ia lupa mengganti dalamannya yang sudah seminggu tak diganti.
"Bu," ucapnya pelan. "Kenapa sih ibu selalu melarang aku mandi hujan. Padahal basah-basah itu asik" Ia bertanya pada ibunya yang sedang memasak. Namun ibunya tak peduli, karna sibuk memasak jengkol dan pete.
"Ada-ada saja kau bertanya, ya aku gak mau kau sakit nak. Kalau kau sakit aku juga yang sibuk"
Lagi-lagi Dina merasa tak puas dengan alasan ibunya tersebut.
"Besok aku gak mau sekolah, badanku sakit-sakit rasanya"
"Alah, gak usah banyak alasan kau Dina. Sana kau masuk ke kamar, belajar!"
Dina tak pernah mengerti mengapa ia selalu di suruh belajar dan berangkat sekolah setiap hari. Padahal di usianya yang masih kecil adalah masa-masa dimana asik bermain bersama teman-temannya di Pasar Semanan. Bermain hujan bersama. Basah-basah. Ah, ia pun merasa heran dengan ibunya.
Di kemudian hari, Dina sempat bertanya kepada gurunya di sekolah. Mengapa ibunya selalu menyuruh Dina untuk berangkat sekolah, dan hampir setiap hari ia disuruh belajar dan membaca buku. Padahal Dina tak menyukai hal tersebut. Apalagi harus berangkat kesekolah pada pagi hari.
"Kamu suka membaca buku Din?" Salah seorang guru bertanya padanya
"Hmm... Suka sih bu, tapi bukan buku pelajaran heheh. Apalagi buku matematika, ribet bu, mumet ndasku"
"Kamu jangan sering-sering baca buku, itu gak bagus Din." Ujar guru tersebut.
"Lohh, kan bagus bu, biar gak di bodohin sama orang-orang yang punya kekuasaan"
"Nanti kamu tanayakan sama Ibu kamu ya, kenapa gak boleh sering-sering baca buku"
Dina merasa heran dengan gurunya tersebut. "Dihhh, aneh nih guru, malah buat aku pusing. Bukannya buat masalahku kelar" ujarnya dalam hati yang dongkol.
Setelah ia tiba di rumahnya yang seperti kapal pecah. Tak ada seorangpun yang membersihkan karena kesibukan masing-masing. Badannya tetap berdiri di tengah ruangan yang sempit. Mukanya lusuh, rambut acak-acakan dan juga bibir yang pecah-pecah.
"Bu, aku mau nanya nih. Kata guruku tadi kenapa aku gak boleh sering-sering baca buku?" Ujarnya
"Nanti kau ketagihan nak" Jawaban singkat dari sang ibu
"Maksudnya apa, aku gak ngerti bu! Emangnya jengkol apa!"
"Nah iya, benar itu."
"Jadi baca buku itu kayak makan jengkol ya Bu"
"Kau fikir aja sendiri. Aku mau masak!"
"Okelah, masak yang enak ya Bu" Mencoba merayu sang ibu.
Setahun kemudia, sang ibu meninggalkan Dina yang masih terbilang muda umurnya. Karena ledakan kompor gas yang membakar hangus tubuh sang ibu. Saat itu juga Dina masih kecil dan belum paham artinya kehilangan sosok sang ibu yang luar biasa. Walaupun ibunya bukan seperti Superwoman, namun Dia adalah wanita yang tak kenal lelah untuk memasak jengkol dan pete kesukaannya. Dan juga dia adalah wanita yang selalu menasehati sekaligus memarahinya saat ia bermain basah-basahan.
Hujan air mulai turun di halaman rumahnya. Dan juga petir yang diiringi oleh suara gemuruh di atas langit yang semakin gelap. Saat itu ia teringat oleh pesan-pesan yang di sampaikan oleh Ibunya. Jika ia basah-basahan bersama hujan, Ibunya akan repot mengurusnya. Namun setelah kepergian sang ibu, ia tak pernah lagi bermain hujan.
Tangannya tiba-tiba bergetar, matanya terbelalak melihat setumpukan buku yang berdebu diatas rak yang sudah keropos. Seperti ada rasa batin yang disampaikan sang Ibu melalui hujan yang turun pada halaman rumahnya. "Ambillah jengkol yang berdebu itu nak." Batinnya merasa bahwa ibunya telah menyuruh ia mengambil jengkol yang sudah berdebu itu.
Yk, 01-10-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H