Mohon tunggu...
Iskandar Purwana
Iskandar Purwana Mohon Tunggu... -

keyboardish DIMENSI Musik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Pandangan para Sufi terhadap Wanita

20 April 2015   11:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pandangan Sufi terhadap wanita

Tasawuf seperti yang sudah dijelaskan merupakan sebuah konsep  dari Islam dan konsep tersebut lahir dari sebuah pemikiran dimana tentunya yang berpikir itu adalah manusia, maka orang yang menjalani konsep tasawuf dinamakan Sufi. Mengutip definisi sufi dengan berbahasa inggris yaitu” the term Sufism, which has become over the ages very popularly used, and often with a wide range of meanings, originates from three Arabic letter sa, wa, and fa. Three have been many opinions on the reason for its origin from sa wa fa. According to some the word is derived from safa wich means purity.[1] Shaykh as-Suyuti said,”The Sufi is the one who persists in purity with Allah, and good character with creation.[2] Dapat kita simpulkan bahwa para sufi adalah orang-orang suci yang begitu mencintai Rabbnya dalam hal ibadah tanpa mengenal lelah, mengerjakan segala perintah Allah bukan karena mengharap syurga dan terlepas dari tanggung jawab sebagai muslim akan tetapi, semua ibadah dilandasi dengan rasa cinta yang tulus tanpa mengharap balasan apapun. Para sufi menjiwai Al-Qur’an dan Hadis, menghayati dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam bermuamalah terhadap masyarakat. Nilai-nilai kemanusiaan, sikap hormat sangat dijunjung tinggi dengan tiada membanding-bandingkan, tidak ada pandangan sebelah mata antara yang kaya dan miskin, yang sempurna dan cacat, yang soleh dan jahat, yang laki-laki maupun perempuan. Terkait makalah ini membahas tentang gerakan perempuan maka penulis akan mengutip pandangan sufi terhadap perempuan. Adapun seuntai syair dari Jalaludin Rumi:

”perempuan adalah seberkas cahaya Illahi. Dia bukanlah wujud yang menjadi sasaran hasrat nafsu. Dia adalah pencipta, baiknya disebut begitu. Dia bukanlah .”[3]

Dan intiusi sofianik ini sejalan betul dengan pandangan para Syi’i ekstrim, kaum Ismailian dan Nusayri bahwa pribadi Fatimah, yang dipandang sebagai “perawan bunda” yang melahirkan garis imam-imam suci, merupakan teofani Sophia aeterna, mediatriks penciptaan yang tersohor dalam kitab-kitab kebijaksanaan, dan namanya dibubui  pensifatan demiurgis secara maskulin (Fatimah Fathir): Fatimah Pencipta. Intuisi mengenai feminin pencipta dan dengan begitu wujud feminine sabagai bayangan Illahi yang kreatif sudah barang tentu bukanlah suatu kontruksi spekulatif belaka, dia memiliki asal-usul “pengalaman” yang bisa ditemukan dengan merenungkan kata-kata yang begitu termasyhur dalam sufisme.[4]

Doktrin Maulana Rumi dan doktrin Ibn ‘Arabi, dengan memproduksi teks fusus mereka menyerukan penggalan dari kitab Matsnawi.”perempuan adalah tipe leluhur dari keindahan di bumi, namun keindahan di bumi ini tak artinya kecuali menjadi manifestasi dan pantulan dari sifat-sifat Illahi.” (Bdk. Najm Daya Razi, dalam Mirsad:”ketika Adam merenungkan kecantikan Hawa, dia melihat sorot sinar keindahan Illahi.”I). “dengan menyisihkan hijab bentuk, sang penyair merenungkan dalam diri perempuan keindahan abadi yang menjadi inspiratriks (inspiratriks, feminine pengilham). Mengutip wali Muhammad, yang bersepakat dengan Ibn ‘Arabi dalam menegaskan keutamaan perempuan (karena wujudnya mengkombinasikan mode ganda action dan passio):”ketahuilah bahwa Tuhan tak mungkin direnungkan terlepas dari wujud konkret dan ketahuilah bahwa Dia secara lebih sempurna dalam wujud manusia daripada dalam wujud lainnya, dan lebih sempurna dalam perempuan dari pada dalam laki-laki.”[5]

Dikutip dalam Massignon, Essai sur les origins du lexique technique de la mystique musulmane, hlm. 237-238. Menjelaskan tentang kata “kun” kata “kun” adalah bentuk feminine dari kata Al-Qur’an kun (jadilah/fiat), dan mengacu pada makhluk manusiawi yang pertama, atau mutiara putih (durrah bayda). Sungguh menarik sekali untuk dicatat bahwa menurut doktrin kaum Qarmat-awal, “kun” merupakan emanasi pertama Tuhan, sementara sufi seperti Mansur Ibn ‘Ammar memandangnya sebagai personifikasi bidadari (Houri) Firdaus yang sempurna, yang kepadanya pencipta ras manusia barsabda: kun, fa-kanat (Jadilah, maka dia-perempuan pun menjadi).[6]

Menurut Syeikh Abduh Islam telah mengakui kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, Allah SWT berfirman, Hai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari jiwa yang satu (nafs wahidah), dan dari (nafs wahidah) allah menciptakan pasangannya: dan dari keduanya Allah mengembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…[7]

Islam telah mengakui kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban. Adapun perkataan Ibn Abbas, “ sungguh, aku berhias untuk istriku, seperti ia berhias untuk diriku.” Pembalasan terhadap tugas perempuan tergantung kebaikan dari ‘urf (adat istiadat). Namun yang lebih penting, harus ada perimbangan antara kewajiban perempuan yang dikerjakan dengan hak yang mereka peroleh. Setiap perbuatan perempuan harus dibalas seimbang oleh laki-laki, maka laki-laki  dan perempuan setara dalam menjalankan kewajiban dan menuntut hak, seperti mereka setara dalam unsur jiwa, perasaan dan akal.[8] Salah satu bukti islam memuliakan derajat wanita yaitu dengan adanya tokoh sufi perempuan yang paling terkenal yaitu Rabi’ah Al-Adawiyah, dimana awal mulanya hanya seorang budak lalu dengan keshalehahhannya beribadah kepada Allah SWT menjadikannya seorang sufi dilihat dari kisah pengalaman hidupnya dan pemikirannya terhadap sebuah pernikahan menurutnya akad nikah adalah hak pemilik alam semesta, sedangkan bagi diriku hal itu tidak ada karena aku telah berhenti maujud (ada) dan lepas dari itu. Aku maujud (berada) dalam Tuhan dan diriku milik-Nya sepenuhnya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah harus diminta dari-Nya bukan dariku.[9] Dalam fase selanjutnya hidup Rabiah hanya diisi dengan dzikir, tilawah dan wirid. Duduknya hanya menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon kebaikan dan fatwanya, hidupnya penuh dengan ibadah kepada Allah sampai akhir hanyat.[10] Kutipan yang sedikit diatas dapat menjadi refernsi betapa Rabiah begitu dimuliakan hingga menjadi seorang guru dari para sufi, padahal dia hanya seorang wanita namun tingkat ibadahnya memiliki nilai spiritualitas yang tinggi dibanding dengan laki-laki awam.

Selanjutnya yaitu dari Jalaludin Rumi, dimana beliau merupakan salah satu tokoh sufi terkenal sebagai tokoh humanis-toleran yang selalu menebarkan cinta-kasih dan perdamaian untuk manusia.[11] Rumi tidak hanya memiliki pengikut dari golongan Islam saja tapi juga dari lintas agama seperti Yahudi dan Nasrani.[12] Menurut Rumi, perempuan bukanlah seseorang yang memiliki vagina, payudara dan memiliki potensi untuk hamil tetapi seseorang yang memiliki nafsu-nafsu rendah, atau insting-insting jahat. Sedangkan, laki-laki adalah yang memiliki akal maskulin yang positif dan jiwa feminine yang positif. Sehingga laki-laki dan perempuan bisa disebut sebagai laki-laki dan mampu untuk mencapai tingkat tinggi yaitu dekat dengan tuhan. Rumi menggambarkan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan dengan langit dan bumi. Menurutnya gambaran tersebut tidak menunjukkan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan tetapi keduanya merupakan hubungan yang saling menguntungkan karena adanya sikap saling ketergantungan antara keduanya.[13] Rumi menggambarakan terhadap perempuan lebih kepada sifat-sifat nalurinya yang lemah terlebih mengontrol nafsunya namun dari itu semua Rumi tidak menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki namun keduanya memiliki peranannya masing-masing untuk itu harus adanya kerjasama yang sportif agar proses saling menguntungkan berjalan dengan seimbang antara kedua belah pihak laki-laki dan perempuan.

Feminisme merupakan gerakan yang tidak baik karena menuntut kesetaraan peran laki-laki pada perempuan sehingga tatanan kekeluargaan yang sudah baik sesuai ajaran tasawuf tidak stabil dan rusak. Dalam karya al-Sulami digambarkan tentang kesadaran identitas perempuan sebagai sufi yang berperan dalam banyak hal, seperti melayani saudara-saudara laki-laki, belajar bersama, mendukung secara finansial, dan terkadang bahkan melebihi mereka dalam pengetahuan. Selain itu al-Sulami juga menunjukkan bahwa pada masa terbentuknya tasawuf, kaum perempuan tidak terlalu sering disisihkan dari aspek-aspek publik kehidupan spiritual. Perempuan digambarkan setara dengan kaum laki-laki dalam hal agama dan kecerdasan akal, dan dalam pengetahuan mereka tentang ajaran-ajaran dan praktek-praktek sufi.[14]

Kesimpulan

Pandangan para sufi terhadap wanita bertolak belakang dengan latar gerakan feminisme yang berdalih penindasan kaum laki-laki pada perempuan, sebaliknya para sufi mengutamakan perempuan dari yang lainnya karena menurut para sufi perempuan adalah makhluk dari hasil emanasi Tuhan yang memiliki sifat kelembutan, Doktrin Maulana Rumi dan doktrin Ibn ‘Arabi, dengan memproduksi teks fusus mereka menyerukan penggalan dari kitab Matsnawi.”perempuan adalah tipe leluhur dari keindahan di bumi, namun keindahan di bumi ini tak artinya kecuali menjadi manifestasi dan pantulan dari sifat-sifat Illahi.” Tidak hanya itu realita sejarah para sufi tidak hanya dari golongan laki-laki tapi ada juga dari perempuan yang paling terkenal yaitu Rabiah al-Adawiyah yang menjadi guru dari para sufi yang lain, ini menunjukan sosok perempuan yang begitu dihormati dan dimuliakan sampai dijadikan seorang guru karena nilai spiritulaitasnya yang luar biasa. Jalaludin Rumi pun juga memberi sumbangsih pemikirannya terhadap perempuan dimana Rumi mengatakan laki-laki dan perempuan merupakan 2 hal yang tidak bisa dipisahkan keduanya memiliki ketergantungan dan saling menguntungkan.berbeda halnya dengan gerakan feminisme dimana awal mulanya dari Barat yang memperlakukan perempuan secara rendah, adanya penyiksaan inkuisisi gereja, pendiskriminasian hak-hak perempuan dan lain sebgainya sehingga mendorong kaum perempuan untuk memberontak dengan asas HAM. Segala penderitaan yang dikisahkan oleh kaum feminis tidak ada dalam Islam terlebih para sufi. Maka dengan kembali pada ajaran tasawuf yang dibawa oleh para sufi harkat dan martabat perempuan akan tetap dipertahankan kehormatan dan kemurniannya sebagai mutiara putih (durrah bayda) dan bidadari (Houri) Firdaus yang sempurna.

[1]Shaykh Fadhlalla Haeri, “The Elements of Sufism”, Element,Shaftesbury, Dorset, Rockport, Massachusetts Brisbane, Queensland, P: 1

[2]Ibid, P:3

[3]Jalaludin Rumi, Matsnawi, Kitab I, 2437 ([ed.] .Nicholson, teks, I, 150; Syarah, VII, 155-156), dalam buku, Henry Corbin,”Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi”, LKIS, Yogyakarta, Cet,I:Juli 2002, Hal:205

[4]Ibid, Hal:206

[5] Foot note, Ibid, Hal: 205

[6]Foot note, Ibid, Hal: 218

[7]QS. Al-Nisa (4):1

[8]Al-A’mal al-Kamilah, vol.4, H.606. dalam buku Mohammad Guntur Romli, Muslim Feminis (Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam), Hal: 200

[9] Suryadilaga, Miftahus Sufi, 114-115

[10] Ismail, Tasawuf, 36.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun