Anak muda yang hari ini menjalani hidupnya di usia 20an tahun, sedang melihat banyak role model yang tidak pernah terjadi 20 tahun sebelumnya. Hari ini, mereka berkesempatan melompat tinggi, setinggi langit, tanpa harus melalui tahapan yang panjang apalagi berliku.
Mereka bisa menjadi direktur, owner, CEO, founder, atau jabatan apapun yang mereka inginkan. Setahun dua tahun lulus kuliah, mereka bisa menyematkan titel 'praktisi' atau minimal 'pegiat' sebelum namanya.
Dan hari ini, ketika percakapan, diskusi dan bincang-bincang virtual semakin marak, siapapun, semuda apapun usia dan pengalamannya, bisa jadi narasumber.
Dulu? Jangan harap ini semua terjadi. Zaman dulu adalah zaman untuk mereka yang matang dan sudah lama makan asam garam.
Ketika di kartu namanya tertulis titel 'manager', bisa dibayangkan berapa tahun dia berkarir di perusahaan tersebut. Atau bisa dimaklumi berapa banyak staf yang melapor kepadanya.
Untuk tampil di depan publik pun, tidak pernah mudah. Harus ada instansi yang merepresentasikan dirinya, dan lagi-lagi itu terkait dengan rentang waktu dan pengalaman yang panjang.Â
Untuk menjadi pakar, Anda perlu lama menikmati asam manis seorang praktisi. Dan sering kali sebutan pakar bukanlah sebuah gelar yang dibuat, tetapi pengakuan yang diberikan. Sehingga wajar kalau tidak ada yang berpikir untuk menuliskannya di kartu nama atau di curriculum vitae.
Tapi hari ini, semua bisa dan boleh. Sah-sah saja. Alias tidak ada yang melarang.
Saat masih bekerja di Kompasiana, saya sudah biasa melepas kepergian rekan kerja yang pindah ke perusahaan lain. Dan saat berada di tempat barunya, peran yang diemban langsung naik, dari staf menjadi manager.Â
Dari bawahan menjadi atasan. Kebetulan nama besar Kompas Gramedia cukup bagus buat menambah poin perjalanan karier seseorang.Â
Skala perusahaan lama dan barunya tentu saja berbeda. Tapi justru di situlah peluang bagi seorang pekerja untuk menunjukkan kualitas dirinya, lewat serangkaian tugas, jabatan dan tanggung jawab--yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Lantas bagaimana dengan anak milenial yang hidup di era Menteri Nadiem Makarim? Saya khawatir pegangan atau pondasi yang mereka miliki untuk menunjukkan 'sisi terbaik dari diri mereka' belum solid.Â
Bahkan tidak berpondasi sama sekali. Saya khawatir mindset anak-anak zaman now sudah bergeser. Dari menikmati proses, berubah jadi mengejar hasil. Dalam tempo secepat-cepatnya. Secepat informasi yang biasa mereka konsumsi setiap hari di media sosial yang serba cepat.Â
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar.
Mereka lahir di zaman canggih, di era yang memudahkan banyak sekali urusan dan pekerjaan. Mereka terbiasa mendapatkan sesuatu secara instan berkat bantuan gadget di tangan.Â
Dari situ, mereka tertantang untuk memberikan sesuatu untuk orang lain dengan kemudahan dan kepraktisan yang sama. Dalam sekian eksperimen yang dijalani, mereka meyakini bahwa tidak ada mimpi yang terlalu mustahil, asalkan mau tahu dan mau bekerja.
Semangat positif untuk berbuat dan menghasilkan sesuatu ini antara lain terlihat dari banyaknya start-up atau perusahaan rintisan yang didirikan oleh anak muda. Banyak yang berhasil, tapi jauh lebih banyak yang tidak.
Sayangnya, yang terlihat oleh banyak mata dan muncul di banyak layar ponsel adalah usaha-usaha yang berhasil, sehingga mereka tidak berkesempatan untuk belajar banyak dari usaha-usaha yang gagal.
Dalam sebuah obrolan dengan anak muda, saya sudah biasa mendengar gagasan mereka. Ingin membuat usaha, ingin menyebarkan ilmu lewat pelatihan virtual, ingin mendirikan perusahaan, ingin menjajal peruntungan di Youtube, ingin jadi reseller di toko online, dan seterusnya.
Itu adalah semangat yang bagus. Tapi semangat itu akan jauh lebih kuat jika diberangi dengan wawasan dan persiapan untuk gagal.Â
Semangat itu juga akan lebih matang jika dilengkapi dengan kemauan untuk belajar, entah belajar di kampus sebagai mahasiswa atau belajar di perusahaan sebagai karyawan.
Dalam lingkup yang lebih luas, anak-anak milenial hari ini juga sedang hidup di era kesuksesan besar anak seusia mereka, di banyak lini kehidupan.
Ada pendiri Facebook, ada pendiri Google, ada pendiri Ruang Guru, ada pendiri Gojek. Semuanya adalah anak-anak muda yang meraih sukses di usia muda. Mereka jadi panutan dan teladan. Kalau dia bisa, mengapa saya tidak.
Tapi di luar seribu kemudahan, kemungkinan dan teladan yang ada, anak muda tetap perlu mengenal tangga: tidak ada yang bisa naik ke atas kecuali dengan melewati anak tangga.
Semua dimulai dari langkah pertama di atas anak tangga pertama. Semakin tinggi melangkah, kaki akan cepat letih sekaligus semakin kuat. Sejatuh-sejatuhnya orang yang sedang menapaki tangga, dia masih punya pegangan tangan agar tidak langsung merosot ke anak tangga pertama.
Ilmu dan wawasan tangga itu tidak hanya perlu dicoba tapi juga baik untuk dijajal. Berulang kali. Sampai kaki mereka kapalan.
Tujuannya satu: agar anak muda menikmati anak tangga. Agar mereka tahu ada anak tangga, dan tahu cara menikmatinya.Â
Sehingga di anak tangga ke berapapun dia berada, dia sudah siap. Siap untuk terus naik. Juga siap untuk menghadapi kemungkinan yang membuatnya mundur selangkah dua langkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H