Beberapa waktu lalu, saya bertemu tiga orang mitra kerja yang ketiganya pernah bekerja sebagai kuli tinta alias wartawan di media pers. Saat ini, mereka berkarier di agensi komunikasi sebagai pengelola konten.
Kurang lebih, pekerjaan mereka sama, hanya industrinya saja yang berbeda. Dulu mereka bekerja di industri pers, sekarang bekerja di industri komunikasi.
Sebenarnya menjadi hal yang lumrah saat 'orang media' menggeser kariernya menjadi 'orang humas'. Kemampuan dasar yang dibutuhkan di kedua industri sama.
Bahkan bisa dibilang, akan lebih afdhol kalau pekerja humas punya pengalaman sebagai wartawan atau editor di sebuah media pers. Walaupun itu sama sekali bukan sebuah titian karier yang linier.
Nah, yang menarik saat ini adalah, tidak sedikit mantan wartawan yang pindah kerja tapi pekerjaannya tidak berbeda sama sekali. Dia tetap melakukan liputan, membuat berita dan menyerahkannya ke editor atau atasan sebelum dikonsumsi publik.Â
Kalau sebelumnya dia jadi kuli tinta, sekarang bolehlah saya menyebutnya dengan istilah kuli konten. Biar sama-sama ada frasa kuli-nya. Sebenarnya, istilah kuli tinta juga digunakan untuk penulis umum yang mata pencahariannya dari menulis artikel atau buku. Tapi karena saat ini konten tidak dimonopoli oleh tulisan, akan lebih pas kalau istilahnya disesuaikan jadi 'kuli konten'.
Pakem dan prosedur serta etika yang diikuti pun sama. Mereka melakukan 'sidang redaksi', meliput acara, mewawancarai narasumber, melakukan riset, lalu membuat tulisan untuk diedit sebelum dilempar ke publik.
Perbedaan terjadi di gaya penulisan, penekanan sudut pandangan dan cara mendapatkan bahan tulisan yang mengikuti ketentuan perusahaan tempat dia bekerja.
Pekerjaan kuli konten boleh jadi lebih berat dibandingkan kuli tinta. Mereka tidak hanya bikin berita, tapi juga diminta membuat konten untuk ditayangkan di Facebook, membuat serial kicauan di Twitter, meramu keterangan foto untuk Instagram, dan seterusnya.Â
Belum lagi ada perusahaan yang menggandakan pekerjaan mereka sebagai copywriter alias penulis naskah untuk iklan. Ya untuk advertorial, untuk iklan displai, TVC, adlips, newsletter dan sejenisnya.
Pokoknya palugada. Apa lu bisa, kudu ada.
Content Creator
Lalu di saat bersamaan, seiring bertambah masygulnya manusia zaman digital mengkonsumsi apapun yang beredar di media sosial, kuli konten menjadi profesi baru yang digandrungi banyak orang. Mereka memperkenalkan diri sebagai pembuat konten. Content creator. Orang yang meramu kata dan meracik gambar. Menambahkan warna pada foto dan merunutkan kalimat-kalimat cerita pada video.
Anda memanggil mereka sebagai blogger dan vlogger. Tapi sejatinya, mereka adalah pembuat konten.
Dari sisi substansi, jelas ada benang merah antara produk jurnalistik dan produk nonjurnalistik. Itu tidak saya bahas di sini. Yang ingin saya tekankan adalah, era digital memberikan Anda pilihan untuk menjadi kuli tinta atau menjadi kuli konten. Untuk bekerja sebagai jurnalis atau sebagai blogger.
Tapi apapun pilihan Anda, saya sarankan mulailah dengan mendalami (dan mempraktekkan) ilmu jurnalistik. Jadilah reporter. Tekuni rangkaian pekerjaan yang bersangkutan dengan pemberitaan di industri pers.Â
Karena dengan menjadi jurnalis atau belajar jurnalistik, Anda bisa membuat konten yang faktual. Anda akan dilatih menyampaikan konten apa adanya sesuai fakta yang terjadi. Anda dituntut mampu memilah antara news dan views.Â
Termasuk belajar menyajikan konten yang dibutuhkan pemirsa, bukan yang diinginkan pembuatnya.
Etika jurnalistik selalu berpegang pada asas kebaikan dan kejujuran. Ini modal penting, apapun bentuk dan tema konten yang ingin Anda kembangkan. Baru kemudian masuk ke suguhan yang menarik dan relevan.
Berkat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, kebutuhan akan konten hari ini tidak melulu bersumber dari media pers. Setiap orang, setiap instansi, setiap merek, setiap perusahaan, semua butuh konten. Karena semua punya pemirsa. Setidaknya di dunia maya.
Dari sinilah kebutuhan terhadap kuli konten alias pembuat konten akan bertambah besar. Sayang kalau Anda tidak terlibat di dalamnya.
Nah, untuk memulainya, cukup jawab pertanyaan yang tertera pada judul di atas dengan jawaban: Mau!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H