Karena, sepemahaman saya, yang boleh mukul itu hanya guru terhadap siswanya. Murid tidak boleh memukul murid. Penjaga sekolah tidak boleh memukul siswa. Penjual jajanan tidak boleh memukul siswa. Dan siswa tidak boleh memukul siapapun di manapun! Pendidik punya tanggung jawab mendidik dan mendisiplinkan muridnya yang punya beribu karakter. Kalau perlu pakai tangan ya pakai tangan.
Tapi saya tidak pernah menganggap mendidik dengan tangan itu sebagai sebuah kekerasan. Bukan juga sebagai tindakan main hakim sendiri atas sebuah pelanggaran. Atau sebagai bentuk penganiayaan yang melanggar peraturan. Saya anggap itu semua sebagai bagian dari pendidikan.
Waktu sekolah di Gontor, saya pernah tertidur di kelas sampai waktu Ashar tiba. Lalu bagian keamanan datang, lalu saya dibangunkan dengan suara keras, lalu belum tegak kaki berdiri, sebuah tangan mendarat keras di pipi yang membuat badan saya jatuh lagi ke posisi tidur di atas bangku.
Kejadian sore itu sungguh berkesan. Bahkan saya masih bisa merasakan sakitnya sekarang.
Tapi saya menerimanya sebagai sebuah hukuman dan konsekuansi atas sebuah pelanggaran. Murid dikasih peraturan. Murid diberi tahu detil hukuman. Kalau aturan dilanggar, maka hukumannya sudah ditetapkan dan harus diterapkan.
Buat saya itu adil. Buat saya itu pendidikan.
Lalu ketika jadi wali murid untuk anak saya yang juga sekolah di Gontor, saya menjalankan peran sebagaimana orang tua saya dulu berperan. Saya tidak pernah bertemu dengan guru. Tidak pernah bertandang ke pimpinan pesantren. Karena di Gontor, orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak ke sekolah. Peran orang tua digantikan oleh para senior di asrama dan oleh guru di kelas.
Praktis tidak ada interaksi antara saya sebagai orang tua dan sekolah. Wali murid memberikan 100 persen kepercayaan ke sekolah dengan ikhlas. Dan sekolah pun menjalankan 100 persen kepercayaan itu dengan amanah.
Ini tentu berbeda dengan sekolah-sekolah di luar pesantren. Saya sendiri masih bisa bertemu dengan guru anak-anak yang sekarang duduk di bangku SD, minimal setahun sekali saat penerimaan rapor. Komunikasi pun berjalan tanpa hambatan berkat adanya WhatsApp.
Maksud saya menceritakan pengalaman pribadi di atas adalah: pendidikan dibentuk oleh sebuah sistem. Sistem dibuat oleh manusia. Dan manusia akan maju bersama hanya jika menjalankan sistem itu dengan penuh rasa tanggungjawab.
Menjalankan pendidikan berasrama tentu jauh lebih mudah dibandingkan pendidikan tanpa asrama. Tapi bukan berarti semua sekolah di tanah air harus dibuat berasrama. Yang perlu dilakukan segera adalah menuntaskan PR yang sudah dibuat oleh pemerintah. Termasuk menuntaskan titik-titik krusial dalam praksis pendidikan formal. Mulai dari kualitas sekolah dan SDM di dalamnya, kesadaran murid dan keluarganya, sampai kondisi lingkungan masyarakatnya.